Seringkali
gue ditanya sama banyak orang kenapa gue nggak mau jadi guru padahal gue kuliah
di jurusan pendidikan, fakultas keguruan lagi. Aneh kan? Nggak mau jadi guru
padahal kuliah di bidang itu. Memang aneh kalo orang hanya melihat dari sisi
yang jelas begitu. Mereka nggak tau alasan kenapa gue kuliah keguruan. Itu
semua karena keinginan orang tua gue yang menganggap cewe badannya kecil,
penyakitan dengan intelegensi seadanya pantesnya jadi guru. Kerjaannya nggak
banyak nguras waktu, murid libur, bisa ikut liburan dan gaji lumayan apalagi
kalo jadi PNS. Lagipula jadi wanita nggak wajib lah cari duit.
Yah
itu memang pendapat yang nggak bisa gue salahkan begitu aja. Mereka punya
banyak pertimbangan menginginkan gue jadi guru. Gue punya asthma, badan gue
kecil, intelegensi gue nggak tinggi dan gue perempuan. Semua alasan itu udah
cukup jelas bahwa pekerjaan yang cocok buat gue hanyalah jadi guru. Hanya saja
gue adalah anak nggak tau diri dan pengin lebih. Bukan karena nggak bersyukur,
tapi gue punya target lain yang sangat bertolak belakang dengan keinginan orang
tua gue yang menginginkan gue jadi guru. Gue punya begitu banyak goals dan
menurut gue, bisa gue lakukan dan gue capai. Semua goals gue tadi hampir hangus
ketika gue ceritakan ke orang tua. Alih-alih mendukung, keinginan gue hanya
dianggap hal yang terlalu nggak mungkin untuk dikejar. Gue sedih, jangankan
didukung, didenger keinginannya aja nggak pernah.
Gue
juga punya alasan kenapa gue nggak pengin jaadi guru selain guru itu bukan
cita-cita gue. Sebenernya gue nggak masalah ngajarin orang, gue mau berbagi
kalo emang gue layak untuk itu. Gue hanya nggak suka kalo ntar nantinya gue
jadi guru, gue akan berubah jadi orang lain. Dan ketika gue jadi orang lain,
otomatis gue akan selalu bohong sama diri gue sendiri, gue pun jadi nggak
ikhlas ngajarin anak orang, gue malah makin jauh dengan criteria menjadi guru.
Sok banget sih, kaya di film-film begitu “that’s not me” tapi seriusan, gue
nggak betah menjadi orang lain.
Tapi
kalo dipikir-pikir, sebenernya jadi guru itu asik. Iya asik kalo gue menjadi
guru yang sangat gue. Nggak kehilangan karakter gue yang seringnya lawak dan
cuek. Kalo guru boleh seperti itu, gue mau-mau aja. Tapi semua orang tau guru
itu harus seperti apa. Guru harus jaga wibawa, harus terlihat terhormat dan
harus disegani siswa. Makin strict seorang guru, makin kelihatan wibawanya dan
makin tinggi derajatnya. Ya begitulah, hal-hal begituan nggak cocok dengan gue.
Bagi gue wibawa itu ya bawaan, bukan paksaan, kalo saya mau dihormati ya saya
harus terhormat (Ini gue jadi pake saya). Bukan berarti ketika murid-murid
terlihat hormat mereka bener-bener hormat sama kita, bisa jadi hati mereka
malah nggak peduli karena kehormatan atau wibawa yang kita punya hanya dibuat-buat.
Ada sih yang bilang guru boleh asik-asik aja tapi harus tau batas. Gue nggak
mau sih membuat batas kalo ntar malah jadinya kelewat batas.
Artikel
ini emang sok tau. Beneran deh. Gue hanya sharing aja kenapa gue nggak mau jadi
guru karena gue belasan taun sekolah hanya melihat guru yang begituuuu aja.
Jadi image guru di mata gue ya begitu, hanya sekitar 1 persen dari puluhan guru
yang ngajar gue yang bener-bener guru. Yang lainnya, malesin deh. Selama gue
sekolah, hampir semua guru itu strict, sok tau dan nggak mau denger penjelasan.
Pilih kasih juga, nggak mau terima ide siswa dan nggak sesuai jaman,
membanding-bandingkan dan ngurusin dirinya sendiri. Sekali lagi, hanya sekitar
satu persen guru yang beneran gue anggap guru.
Terkadang
muncul pertanyaan dari diri gue sendiri untuk mencoba jadi guru dan mengubah
guru-guru lain yang nggak peduli sama murid-muridnya. Iya ya, gue kan bisa jadi
diri gue sendiri untuk jadi guru, toh gue pernah ngajar selama 4 bulan waktu
KKN dan jadi diri gue sendiri. Tapi nggak bisa. Gue akan diasingkan kalo gue
menjadi diri sendiri. Ya bayangin aja kalo ada guru cewe pake skateboard ke
sekolah karena alasan efektifitas waktu, gue rasa nggak mungkin rekan-rekan
guru lain akan bilang, “Wah Anda kreatif sekali,” pasti akan bilang begini,
“Nggak enak dilihat anak-anak.” Sedangkan guru lain dandan menor dengan koleksi
tas mahal atau ngerokok seenak jidat nggak ada tegurannya. Malesnya kan double.
Selain
itu, guru yang ada dibayangan gue itu strict, selfish, dan ngikutin kegiatan
ngajar yang nggak jelas. Mereka akan lebih patuh sama kurikulum neraka dibanding
ketertarikan siswa akan pelajaran. Yang penting siswa lulus, yang penting nggak
dimarahin pengawas, yang penting gaji utuh terus, itu adalah pikiran-pikiran
guru yang gue lihat selama ini. Mereka lebih peduli sama nilai daripada
persahabatan siswanya. Mereka nggak peduli dengan siswa yang kreatif dan
mengacuhkan perasaan mereka. Rasa pilih kasih juga masih kuat. Siswa anak
mentri, siswa unyu, siswa pinter tetap jadi prioritas. Siswa yang sering
tawuran juga jadi prioritas karena mengancam nama baik sekolah. Dan siswa
rata-rata, di cuekin aja. Toh mereka bukan siapa-siapa dan nggak mengancam nama
baik sekolah jadi ngapain diurusin. Padahal tanggung jawab guru itu harus ke
semua siswa bukan siswa-siswa pilihan mereka.