Hallo, akhirnya gue balik lagi setelah sebulan lebih gue vakumin ini blog. Nggak pengin curhat apa-apa sih cuma pengin nongolin tulisan gue yang satu ini... check it out...
SALAH TARGET
Heru berlari
cepat menuju ruang F10. Dia sudah telat sekitar sepuluh menit. Begitu sampai
disana, dia bernafas lega karena dosen literary study-nya ternyata belum
datang. Yang dia lihat hanyalah beberapa onggok daging berisik yang tidak lain
tidak bukan adalah teman-teman sekelasnya.
“Tumben lu
telat, biasanya anak baik-baik kayak elu datengnya pagian,” cecar Ibnu ketika
Heru mengambil kursi disampingnya. Dia hanya cuek menanggapi Ibnu.
“Emang anak
baik-baik nggak boleh telat?” balasnya santai. Ibnu hanya menggelengkan kepala
sambil merogoh tasnya mengambil buku catatan. Meskipun dia belum tahu apakah
kuliah hari ini dia akan mencatat atau hanya sekedar mengalihkan fungsi sang
buku menjadi bantal jika nanti dia ngantuk.
Sementara itu
Heru masih santai mengambil nafas. Lari cepat seperti tadi membuatnya ingin
duduk dengan tenang. Didepannya, ada Momon dan Sandy yang sedang ribut. Sudah
biasa mereka beradu mulut seperti itu. lalu ada lagi Sofi yang selalu membela
Momon. Heru hanya perlu menikmati setiap kalimat mereka tanpa harus ambil
pusing.
Kelas yang
tadinya seperti pasar seketika berubah kelam ketika sang dosen datang. Bukan
karena dosen itu killer atau
bagaimana. Tapi mereka semua bersiap-siap untuk mengambil posisi kalau-kalau
mereka mengantuk supaya bisa tidur dengan nyaman. Maklumlah, mata kuliah ini
memang ajang dongeng sebelum tidur. Bagi anak-anak yang tidak bisa tidur
dikosan kerena berisik atau tidak bisa di mushola karena panas, waktu dan
tempat seperti ini dimanfaatkan mereka sebaik mungkin.
“Eh, lu punya
permen nggak?” bisik Agung yang duduk tepat dibelakang Heru. Sengaja suaranya
dipelankan karena memang sedang kuliah.
“Emang gue
asongan?” tanggap Heru santai, tidak peduli pada Agung yang mukanya makin
mengkhawatirkan karena ngantuk berat. Nanti juga baik sendiri.
Suasana hening
sejenak sampai Heru sadar ternyata dibelakangnya sedang pesta jeruk. Entah
darimana datangnya jeruk itu, yang pasti dia hanya geleng-geleng kepala kenapa
bisa teman-temannya begitu santai. Sepertinya hanya dia anak yang normal
dikelas ini. Atau mungkin hanya dia yang berpikiran bahwa dia yang normal?
Entahlah, lagi-lagi Heru tidak ambil pusing. Sebagai anak yang reputasinya
cukup baik, dia hanya mengikuti kuliah sekenanya.
Akhirnya kuliah
jam itu pun berakhir. Betapa melegakannya. Heru mulai meregangkan otot-ototnya.
Heran juga dia, kenapa bisa badannya pegal semua padahal dia hanya duduk selama
kuliah. Teman-temannya mulai bangun bergantian seperti beruang yang baru
selesai hibernasi dari musim dingin.
“Eh karaokean
yuk,” ajak Wiwit cepat ketika Heru baru saja beranjak dari tempat duduknya.
“Duh, gimana
yah…,” ledek Heru memainkan ekspresinya.
“Plis deh,
jangan bilang lu mau sok imut ke perpus dulu trus garapin tugas trus kecapean
nggak bisa karokaean,” timpal Indri panjang.
“OK deh, tapi
sorean yah.”
“Kenapa nggak
sekarang aja sih?” Lifda ikut menimpali.
“Kaya yang dibilang
barusan, gue mau sok imut ke perpus dulu trus garapin tugas tapi nggak pake
kecapean.”
“Serah lu, gue
tunggu ntar sore,” ujar Wiwit menegaskan.
“Sip.”
Heru segera
cabut ke perpustakaan yang terletak beberapa meter dari ruang tempatnya kuliah
tadi. Dia bergegas menghidupkan sepeda motornya dan berbalik ke arah
perpustakaan. Ditengah jalan, tanpa sengaja dia menabrak seorang gadis. Sontak
dia menghentikan sepeda motornya dan turun membantu gadis yang ternyata jatuh
itu.
“Lu gapapa?”
Tanya Heru cemas, takut kalau gadis itu kenapa-napa lalu menuntutnya ke
pengadilan.
“Nggak kok, sori
ya, gue nggak hati-hati,” ujar gadis itu menimpali.
“Harusnya gue
yang sori karena bikin lu jatuh.”
“Gue baik-baik
aja kok. Duluan yah.”
Heru berhenti
memandang gadis yang telah pergi itu sebentar. Dia senyam-senyum sendiri. Dia
menyesal kenapa tidak mengajak gadis manis itu berkenalan. Harusnya dia
bergerak cepat tapi karena terlanjur terpesona, dia jadi lupa. Kalau saja tidak
ada suara dari klakson mobil yang ingin lewat, mungkin Heru akan berdiam
ditengah jalan sampai sore. Dia kembali menghidupkan motornya dan
menggerakkannya ke perpustakaan.
***
Perpustakaan
cukup ramai siang itu. Ternyata banyak juga mahasiswa yang datang kesana.
Meskipun Heru yakin, mahasiswa yang datang hanyalah yang semesternya berusia
uzur atau tidak lain mahasiswa lama yang baru sadar kalau baca buku itu
penting. Tapi kebanyakan alasan mereka adalah untuk mendapatkan referensi
skripsi mereka. Karena tanpa referensi dari buku, jangan harap proposal akan
diterima apalagi mendapat pujian.
Heru
celingak-celinguk mencari tempat yang nyaman. Dia mendapati Anis dan Yeni yang
duduk paling dekat dengan pintu keluar. Kenapa mereka memilih duduk disana?
Tanpa berpikir lebih lanjut, Heru menyusul mereka.
“Kok kalian jadi
deket sih? Ada hubungan apa?” cecar Heru ketika sampai dihadapan mereka.
“Eh, lu punya
film apaan?” balas Anis tanpa menjawab pertanyaan Heru. Yeni hanya tersenyum
melihat ekspresi Heru yang runyam.
“Banyak, nih
pilih sendiri,” jawab Heru singkat sambil menyerahkan laptopnya.
“Lu ngapain
kesini?” kali ini Yeni yang bertanya pada Heru.
“Biasalah, masa
iya anak baik-baik kayak gue cuman tidur di kosan,” jawab Heru sombong. Yeni
hanya membuka mulutnya dan menggeleng.
Mereka bertiga
diam mengurusi urusan masing-masing. Heru dan Yeni fokus dengan buku yang ada
ditangan mereka, sementara Anis sibuk mengcopy film dari laptop Heru ke
flashdisknya. Mereka diam beberapa saat sampai Heru melihat sesuatu.
Heru menunjuk
sebuah arah, “Eh gaiss, lu tau nggak cewe itu siapa?” tanyanya girang melihat
gadis yang tadi ditabraknya.
Yeni
celingak-celinguk melihat arah yang ditunjuk Heru. “Yang mana?”
“Itu…,” ujar
Heru masih menggerakkan jarinya menunjuk arah yang sama.
“Owh… Siska,”
ungkap Anis nimbrung.
“Lu kenal?”
kaget Heru yang tidak menyangka salah satu temannya mengenal gadis manis
bernama Siska itu.
“Dia anak kelas
B, anaknya baik kok,” lanjut Anis datar.
“Manis lagi,”
tambah Heru sambil tersenyum sendiri.
“Lu suka sama
dia?” Yeni sedikit kaget mendengar pengakuan Heru.
“Kayaknya dia
bakalan jadi target utama gue deh,” kata Heru tiba-tiba disusul tatapan
terkejut kedua temannya.
“Target apaan?
Lu mau jadi cowok dia?” Tanya Yeni penasaran.
Heru hanya
mengangkat bahunya, “Kenapa? Emangnya ada yang salah?”
“Tapi dia…,”
belum sempat Anis menyelesaikan kalimatnya, Heru beranjak pergi. Dia hanya
memberi kode pada Anis menitipkan laptopnya.
Heru berjalan
keluar perpustakaan mengikuti Siska. Dia mengikuti Siska sampai ke parkiran dan
mendapati gadis itu sedang bersama sorang gadis yang dia kenal sebagai Pipit.
“Jadi mereka saling kenal?” tanya Heru dalam hati. Dia pun berjalan menuju ke
arah mereka.
“Ntar malem lu
jadi kencan Sis?” Tanya Pipit segera ketika Siska sampai dihadapannya.
Belum sempat Heru beranjak lebih jauh
langkahnya terhenti oleh pertanyaan Pipit pada Siska barusan. “Apa? Kencan?”
Pikirnya dalam hati.
“Jadi dong, dia
udah jauh-jauh buat ngajakin gue jalan, masa iya nggak jadi,” ujar Siska
menimpali. Mereka berdua terkekeh sebentar lalu berbalik pergi melewati Heru
yang berdiri bengong. Heru bahkan tidak sadar ketika Pipit melambaikan tangan
padanya dan dua orang dibelakangnya yang ternyata adalah Anis dan Yeni. Mereka
baru saja keluar dari perpustakaan.
“Lu kenapa Her?”
tanya Yeni sambil meninju lengan Heru cukup keras. Heru bahkan tidak bergerak
sedikitpun.
“Ternyata dia
udah ada yang punya,” kata Heru lemas.
Anis menarik
nafas panjang, dia mengomentari sikap Heru yang terburu-buru. “Elu sih, gue mau
ngejelasin langsung ngeloyor gitu aja.”
“Salah target
deh gue…,” keluh Heru lemas.
“Tenang aja, cewe
masih banyak. Itupun kalau mereka mau sama lu,” ledek Anis disusul tawa kecil
Yeni.
“Kalo nggak ada
cewe lagi, cowo juga masih banyak kok,” tambah Yeni sambil terkekeh sendiri.
Heru bahkan masih belum bergeming diledek seperti itu.
“Banci apalagi,”
ujar Anis menimpali.
“Maksud loh?”
ujar Heru sewot menatap kedua temannya. Dia ternyata sadar dengan cepat ketika
mendengar kata “banci.”
Anis dan Yeni
hanya tertawa girang. Mereka pergi setelah menyerahkan laptop Heru pada
pemiliknya dan dadah memberikan salam perpisahan sampai ketemu esok hari.
Sementara itu, Heru masih terdiam, menerima nasib ternyata dia salah target
bahkan sebelum target itu mengenalnya.
Antiklimaks.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar