Sabtu, 13 September 2014

OTP LEADER-MAKNAE

Dunia kpop emang selalu menarik perhatian, dari bintang yang sarat prestasi maupun yang kontroversial. Bahkan hal-hal kecil seperti kebiasaan artis-artis kpop juga sering jadi bahan pembicaraan. Bagi orang awam memang nggak penting dan terkesan alay. Kayaknya apa-apa kok diberitain. Salah satu temen gue juga sempat sebel banget ketika dia nemu artikel tentang kebiasaan tidur para member SNSD. “Masa begitu aja diberitain,” ujarnya saat itu.
Tapi itulah orang awam yang nggak terbiasa dengan kultur kpop. Beda 180 derajat dengan fans kpop yang jangankan nemu berita besar, ngelihat video bias yang cuma ngomong “hai” lima detik aja sampe bisa bikin syukuran. Yah, this is how we live.
Salah satu hal yang menarik ketika membicarakan kpop adalah OTP, kepanjangan dari one true pairing. Terutama OTP dari artis yang berasal dari boy/girlgroup. Kalo solo kan nggak ada otp-nya, kecuali si soloist berteman sama artis lain. OTP menarik karena memperlihatkan hubungan dekat antara dua dari beberapa orang yang hidup bersama sebagai keluarga. Singkatnya, dua orang itu lebih dekat dibanding dengan member lain.

Jumat, 12 September 2014

Kenapa nggak jadi guru?

Seringkali gue ditanya sama banyak orang kenapa gue nggak mau jadi guru padahal gue kuliah di jurusan pendidikan, fakultas keguruan lagi. Aneh kan? Nggak mau jadi guru padahal kuliah di bidang itu. Memang aneh kalo orang hanya melihat dari sisi yang jelas begitu. Mereka nggak tau alasan kenapa gue kuliah keguruan. Itu semua karena keinginan orang tua gue yang menganggap cewe badannya kecil, penyakitan dengan intelegensi seadanya pantesnya jadi guru. Kerjaannya nggak banyak nguras waktu, murid libur, bisa ikut liburan dan gaji lumayan apalagi kalo jadi PNS. Lagipula jadi wanita nggak wajib lah cari duit.
Yah itu memang pendapat yang nggak bisa gue salahkan begitu aja. Mereka punya banyak pertimbangan menginginkan gue jadi guru. Gue punya asthma, badan gue kecil, intelegensi gue nggak tinggi dan gue perempuan. Semua alasan itu udah cukup jelas bahwa pekerjaan yang cocok buat gue hanyalah jadi guru. Hanya saja gue adalah anak nggak tau diri dan pengin lebih. Bukan karena nggak bersyukur, tapi gue punya target lain yang sangat bertolak belakang dengan keinginan orang tua gue yang menginginkan gue jadi guru. Gue punya begitu banyak goals dan menurut gue, bisa gue lakukan dan gue capai. Semua goals gue tadi hampir hangus ketika gue ceritakan ke orang tua. Alih-alih mendukung, keinginan gue hanya dianggap hal yang terlalu nggak mungkin untuk dikejar. Gue sedih, jangankan didukung, didenger keinginannya aja nggak pernah.
Gue juga punya alasan kenapa gue nggak pengin jaadi guru selain guru itu bukan cita-cita gue. Sebenernya gue nggak masalah ngajarin orang, gue mau berbagi kalo emang gue layak untuk itu. Gue hanya nggak suka kalo ntar nantinya gue jadi guru, gue akan berubah jadi orang lain. Dan ketika gue jadi orang lain, otomatis gue akan selalu bohong sama diri gue sendiri, gue pun jadi nggak ikhlas ngajarin anak orang, gue malah makin jauh dengan criteria menjadi guru. Sok banget sih, kaya di film-film begitu “that’s not me” tapi seriusan, gue nggak betah menjadi orang lain.
Tapi kalo dipikir-pikir, sebenernya jadi guru itu asik. Iya asik kalo gue menjadi guru yang sangat gue. Nggak kehilangan karakter gue yang seringnya lawak dan cuek. Kalo guru boleh seperti itu, gue mau-mau aja. Tapi semua orang tau guru itu harus seperti apa. Guru harus jaga wibawa, harus terlihat terhormat dan harus disegani siswa. Makin strict seorang guru, makin kelihatan wibawanya dan makin tinggi derajatnya. Ya begitulah, hal-hal begituan nggak cocok dengan gue. Bagi gue wibawa itu ya bawaan, bukan paksaan, kalo saya mau dihormati ya saya harus terhormat (Ini gue jadi pake saya). Bukan berarti ketika murid-murid terlihat hormat mereka bener-bener hormat sama kita, bisa jadi hati mereka malah nggak peduli karena kehormatan atau wibawa yang kita punya hanya dibuat-buat. Ada sih yang bilang guru boleh asik-asik aja tapi harus tau batas. Gue nggak mau sih membuat batas kalo ntar malah jadinya kelewat batas.
Artikel ini emang sok tau. Beneran deh. Gue hanya sharing aja kenapa gue nggak mau jadi guru karena gue belasan taun sekolah hanya melihat guru yang begituuuu aja. Jadi image guru di mata gue ya begitu, hanya sekitar 1 persen dari puluhan guru yang ngajar gue yang bener-bener guru. Yang lainnya, malesin deh. Selama gue sekolah, hampir semua guru itu strict, sok tau dan nggak mau denger penjelasan. Pilih kasih juga, nggak mau terima ide siswa dan nggak sesuai jaman, membanding-bandingkan dan ngurusin dirinya sendiri. Sekali lagi, hanya sekitar satu persen guru yang beneran gue anggap guru.
Terkadang muncul pertanyaan dari diri gue sendiri untuk mencoba jadi guru dan mengubah guru-guru lain yang nggak peduli sama murid-muridnya. Iya ya, gue kan bisa jadi diri gue sendiri untuk jadi guru, toh gue pernah ngajar selama 4 bulan waktu KKN dan jadi diri gue sendiri. Tapi nggak bisa. Gue akan diasingkan kalo gue menjadi diri sendiri. Ya bayangin aja kalo ada guru cewe pake skateboard ke sekolah karena alasan efektifitas waktu, gue rasa nggak mungkin rekan-rekan guru lain akan bilang, “Wah Anda kreatif sekali,” pasti akan bilang begini, “Nggak enak dilihat anak-anak.” Sedangkan guru lain dandan menor dengan koleksi tas mahal atau ngerokok seenak jidat nggak ada tegurannya. Malesnya kan double.
Selain itu, guru yang ada dibayangan gue itu strict, selfish, dan ngikutin kegiatan ngajar yang nggak jelas. Mereka akan lebih patuh sama kurikulum neraka dibanding ketertarikan siswa akan pelajaran. Yang penting siswa lulus, yang penting nggak dimarahin pengawas, yang penting gaji utuh terus, itu adalah pikiran-pikiran guru yang gue lihat selama ini. Mereka lebih peduli sama nilai daripada persahabatan siswanya. Mereka nggak peduli dengan siswa yang kreatif dan mengacuhkan perasaan mereka. Rasa pilih kasih juga masih kuat. Siswa anak mentri, siswa unyu, siswa pinter tetap jadi prioritas. Siswa yang sering tawuran juga jadi prioritas karena mengancam nama baik sekolah. Dan siswa rata-rata, di cuekin aja. Toh mereka bukan siapa-siapa dan nggak mengancam nama baik sekolah jadi ngapain diurusin. Padahal tanggung jawab guru itu harus ke semua siswa bukan siswa-siswa pilihan mereka.

Minggu, 07 September 2014

Surat Balasan untuk Heru

Gue nggak tau sih kenapa kita surat-suratan begini, tapi asik juga bisa baca tulisan panjang ketimbang status atau chat yang hanya sebaris dua baris. Dan ketika lo nanya ‘Is everything alright?’ gue cuma bisa jawab, “I’m not alright at all but I feel great.” Ya, itulah keadaan gue sekarang, jadi pengangguran yang nggak punya temen emang bukan hal yang baik-baik aja, apalagi ketika gue mau ngelamar kerja, ada aja halangannya, dari larangan orang tua sampe email yang nggak kekirim. Akibatnya, ibarat gue punya tanah, gue belum menanam benih apa-apa.  Gue pun belum mengharapkan hasil karena belum ada juga yang gue tanam. Walopun begitu, gue tetep menikmati hidup gue karena gue udah mendoktrin diri sendiri untuk wajib bersyukur, apapun keadaan gue. It quite works on me. Satu hal lagi, gue seneng aja lo ternyata inget sama gue meskipun lo udah sibuk punya kerjaan. Bahkan lo sering sms gue. I’m so thankful.
Masalah beberapa hal yang lo tanyakan itu gue cuma bisa jawab begini:

Sabtu, 06 September 2014

Heru Pramono - One of My Craziest Friends

Heru, cowok sok cool yang sebenernya lawak ini emang temen baik gue sih, tapi sebatas temen baik aja, bukan temen yang jadi emergency call. Dia temen biasa yang sebenernya nggak tau apa-apa tentang gue. Dia nggak tau hari ulang tahun gue, makanan kesukaan gue, apa yang gue suka atau nggak suka, apalagi soal tipe ideal gue. Dia sosok temen baik yang sering share tentang film dan hal-hal yang kita berdua suka. Nggak semuanya gue dan Heru punya selera yang sama sih, malah ada yang kontra banget. Gue fans kpop dan dia anti korea-korea-an. Tapi walaupun nggak suka, Heru punya penilaian objektif kalo emang ada sesuatu yang bagus dari film atau drama Korea. Maka dari itu, dia berhasil menjadi salah satu dari temen baik gue.
Selain alasan tadi, kenapa gue bisa berteman baik sama dia adalah karena dia nggak nge-judge gue seperti temen-temen gue lainnya. Dia cukup memahami pemikiran idealis gue karena dia juga tipe orang yang idealis, nggak kemakan gossip dan nggak jadi korban hal-hal mainstream. Orang-orang selalu bilang “Dah, nggak usah macem-macem, kamu fokus dulu ke yang ini, yang itu,” kalo gue lagi punya planning tentang sesuatu. Pendapat dia, “Terus lo mau gimana? Udah sana maju.”  Beda kan? Emang nggak menunjukan dukungan secara obvious, tapi dia percaya hal yang gue lakukan emang bisa gue lakukan. Kadang, sisi pengecut gue sendirilah penyebab kehancuran semau planning gue. Ah jadi pengecut emang nyebelin pake banget.