Aku bergerak
serampangan mengambil tasku yang aku letakkan di meja rias. Tas berhasil kudapatkan
dan aku keluar dari kamar untuk sarapan di dapur. Seperti biasa, aku harus
menyeduh kopiku terlebih dahulu sebelum aku mulai mengusap selai coklat kacang
pada dua helai roti ditanganku. Aku masih berdiri ketika roti sudah kutumpuk
dan kugigit ujungnya. Perlahan aku menuju kursi yang ada di dapur dan kuraih
koran pagi yang belum sempat kubaca.
Sambil menguyah,
aku menelusur berita di surat kabar edisi pagi itu. Hampir semuanya berita
tentang alokasi dana pendidikan dan korupsi. So old story. Aku pun bergerak lagi ke meja dapur untuk mengambil
secangkir kopi yang sudah aku buat. Ternyata sudah tidak terlalu panas dan
mulai kusesap kafein nikmat itu. Handphoneku tiba-tiba saja menjerit.
“Halo,” seketika
aku angkat panggilan dengan tangan kiriku. Tangan kananku masih memegang
secangkir kopi.
“Mel, lo udah
telat,” jawab si penelepon yang langsung membuatku hampir menjatuhkan cangkir.
Buru-buru aku letakkan cangkir itu di meja.
“Emang ini udah
jam berapa?” tanyaku polos. Aku melirik jam dinding yang sudah menunjukan pukul
delapan kurang sepuluh menit. Aku juga hampir serangan jantung mengetahui bahwa
aku harus segera berangkat kerja.
“Menurut lo?” si
penelepon itu malah berteriak sewot.
“OK, gue
berangkat.”
Setelah
menghabiskan sarapan dengan segera, aku pun beringsut menyambar tasku.
Kutinggal perabotan kotor bekas sarapan. Urusan gerabah bisa nanti sepulang
kerja makanya aku tak begitu peduli. Aku dengan tergesa-gesa mengunci pintu
rumahku. Bahkan rumah sekecil inipun sulit sekali mengunci pintunya. Aduh, aku
ini.
“Nggak usah
dikunci juga nggak bakalan ada maling kok Mel,” teriak sebuah suara
mengangetkanku. Aku celingkukan mencari suara itu dan mendapati sesosok yang
aku kenal.
Dialah Alex, laki-laki
berpostur tinggi dan berkulit putih, tapi tidak seputih aku. Dia memiliki dagu
yang tajam dan indah. Dia lebih muda dua tahun dariku, tapi dia sangat bisa aku
andalkan. Bukan, dia bukan pacarku, kami hanya teman dekat. Dia bahkan tidak
mau memanggilku mbak atau kak. Katanya aku lebih pendek darinya sehingga dia
tidak perlu menambahkan sapaan hormat seperti itu. Yah, aku juga tidak begitu
peduli. Setidaknya sekarang aku bisa meminta bantuan.
“Cepetan sini,
bantuin gue ngunci pintu,” perintahku seenaknya. Alex pun berjalan mendekatiku.
Dia meraih tanganku yang masih memegang gagang pintu. Sedetik kemudian pintu
rumahku berhasil terkunci.
“Nih,” kata Alex
melemparkan kunci rumahku. Bodohnya, aku malah kesusahan menangkapnya padahal
jarak kami dekat. Alex tentu saja menertawaiku.
“Gitu aja heboh,
yuk cepetan. Lo udah telat,” katanya lagi. Aku tersadar dan mengikutinya. Dia
sudah bertengger di atas motornya dan memberikan helm padaku.
“Untung lo
dateng, ngebut yah,” pintaku dengan nada yakin. Alex hanya mengangguk dan
menyuruhku untuk naik ke atas motornya.
Cukup kencang Alex membawa motornya. Aku tak khawatir, aku malah tidak tenang kalau Alex
membawa motornya pelan. Berkali-kali aku menyuruhnya untuk menambah kecepatan.
Dia menolak dengan alasan takut aku jatuh terbawa angin karena tubuhku kurus.
Aku terus memaksanya hingga ia sampai maximum
speed. Aku yang malah terlonjak dan tanpa sadar memeluk pinggangnya dengan
erat.
“Gila lo,”
umpatku padanya.
“Lo sendiri yang
minta,” balas Alex yang membuatku langsung mengunci mulut.
Tidak ada
pembicaraan lagi dari kami sampai Alex memarkirkan motornya tepat di depan
gedung Aquitar. Aku langsung mencopot helm dan berlari memasuki gedung itu. Alex sudah aku tidak pedulikan lagi, dia memang lebih muda dariku tapi dia kan
sudah besar. Dia masih bisa menyusulku sendiri.
Sementara itu
aku masih berlari, menaiki lift dan
beberapa tangga kecil menuju hall A4.
Begitu sampai disana, aku berdiam sejenak. Bahuku turun sedang aku masih ngos-ngosan
sambil memegang gagang pintu alumunium hall
itu. Kulihat beberapa security
melihatku dengan tatapan aneh. Aku langsung tegap berdiri begitu ada salah satu
security yang sepertinya ingin
menolongku.
“Kenapa mbak?”
tanyanya padaku.
Aku menggeleng
cepat, “Nggak papa kok Pak?
Pengantinnya udah didalam?” lanjutku bertanya.
“Sudah mbak.
Tapi mbak nggak bisa masuk selain petugas, tamu undangan juga belum
diperbolehkan masuk.”
“Saya EO,”
kataku sambil menunjukan identitas yang lupa belum aku pasang.
“Oh silahkan,”
kata security itu lagi sambil
membukakan pintu berat berkaca itu. Aku pun melenggang masuk dan baru beberapa
langkah, tubuhku seperti terdorong. Rupanya Alex sudah menyusulku lengkap
dengan nafasnya yang tidak beraturan.
“Pake otak dong
lo kalo mau ninggalin gue,” marahnya tidak santai. Aku hanya cengengesan yang
membuatnya kesal sambil mengancak-acak rambutku. Spontan aku pukul dia dengan
tas dalam genggamanku.
“Udah deh,
urusin sana kerjaan lo,” ucapku galak.
Alex hanya
tertawa dan dia meninggalkanku untuk mengurusi lighting. Aku sendiri kembali melanjutkan langkahku untuk bertemu
kedua mempelai di ruang terpisah. Langkahku semakin cepat ketika sosok Mbak Sri
muncul dari balik ruangan yang aku tuju.
“Maaf mbak,
aku…”
“Telat?” tabrak
Mbak Sri dengan santai. Aku hanya terseyum bodoh mendengar bosku menyindir.
Wajahnya tidak tegang, tampaknya dia sudah biasa menghadapi senyuman bodohku.
“Mas Aji sama
Mbak Wulan udah siap?” tanyaku lagi. jelas pertanyaan bodoh.
“Menurut kamu
gimana Mel?”
Aku tersenyum
lagi. Mbak Sri lalu meyuruhku mengikutinya masuk ke dalam ruangan. Di dalam
sana aku cukup norak dengan menatap kagum ornament
pakaian pengantin. Bahkan aku lupa belum menyapa Mas Aji dan Mbak Wulan juga
beberapa staff perias disana.
“Udah kamu nggak
usah heboh begitu,” tegur Mbak Sri mengagetkanku. Dia menunjuk sebuah meja
dimana ada berbagai kertas dalam sebuah map. Aku mengangguk mantap dan segera
bergerak menuju map itu. mbak Sri melanjutkan tugasnya membriefing para perias
itu.
Seperti ketika
aku membaca surat kabar, aku juga menelusuri rangkaian acara dalam file tersebut. Aku sudah paham dimana
posisiku untuk tetap siaga selama acara berlangsung. Aku harus tetap disamping
pelaminan karena akulah pengurus bagian itu.
“Gimana? kamu
udah paham Mel?” Mbak Sri bertanya sekaligus berharap.
“Udah Mbak,”
jawabku singkat.
“Oh, ini toh yang namanya Melanie, cantik yah,”
kata Mbak Wulan menabrak obrolan kami. Aku terkesiap melihat Mbak Wulan datang,
dia cantik bahkan dia belum memakai riasan. Disampingnya ada Mas Aji, calon
suaminya.
“Iya Mbak, saya
Melanie,” ujarku memperkenalkan diri. Kami memang baru pertama kali bertemu.
“Saya Wulan. Ini
Mas Aji.” Aku dan Mbak Wulan berjabat tangan.
“Aji,” balas Mas
Aji singkat. Kami juga berjabat tangan.
“Saya udah tau
dari Mbak Sri, tapi belum pernah liat kalian berdua sih,” kataku membuka
obrolan. Rupanya kami malah sibuk terlibat obrolan sana-sini. Mbak Wulan dan
Mas Aji pasangan serasi yang enak diajak koprol eh ngobrol.
“Mas Aji ini
dulunya cuek banget lho Mel, aku juga sebel,” curhat Mbak Wulan mengingat awal
mereka belum terlalu kenal satu sama lain.
“Tapi kan kamu
suka cowok cool kayak aku,” balas Mas Aji tidak terima. Aku hanya tertawa saja.
“Tapi kan waktu
itu kamu sombong,” sergah Mbak Wulan lagi. Aku hanya berharap mereka tidak
berantem karena sebentar lagi mereka akan menikah.
“Iya deh,
terserah kamu,” ujar Mas Aji mengalah. Malah aku yang lega. “Kamu udah menikah
belum Mel?” tanyanya lagi padaku. Aku hanya celingukan tidak jelas seperti
mencari jawaban. Menjawab “belum” rasanya kok berat.
“Hehehe, belum
Mas, cariin dong.”
“Pasti cewek
kayak kamu seleranya tinggi yah.”
“Saya emang suka
cowok tinggi Mas,” jawabku innocent.
Mereka berdua malah tertawa.
Kami masih
mengobrol random hingga aku hampir
lupa tugasku belum dikerjakan. Aku harus mereview pelaminan agar terlihat indah
dan juga aman. Aku pun menginterview mereka untuk mempersiapkan pelaminan
sesuai permintaan pengantin.
“Saya pamit dulu
yah,” kataku setelah interview
selesai. Mas Aji dan Mbak Wulan mengangguk. Aku pun meninggalkan ruangan.
Hall A4 ternyata
luas. Pasti sewanya mahal dan ribet. Aku langsung mengurusi kursi-kursi dan
meja tamu. Setelah selesai, aku bergerak menuju panggung pelaminan. Sudah ada
sofa pengantin disana. Aku dengan iseng duduk di sofa tersebut, memandang
seluruh ruangan dan menikmatinya. Rasanya aku juga ingin menikah disini. Tapi
nanti ketika sudah ketemu jodohnya.
“Jodoh jangan
cuman dipikirin tapi juga dicari,” suara Alex yang kukenal menggerayangi
telingaku. Aku menoleh dan mendapati Alex duduk disampingku.
“Udah beres
belum kerjaan lo?” tanyaku santai, tidak peduli ucapan Alex.
“Kalopun males
nyari, yang ada di depan mata juga boleh,” Alex juga tidak menghiraukan
perkataanku. Aku hanya terbengong.
Alex menggerakan
kepalanya menatapku. Dia tersenyum penuh arti tapi aku tidak mengerti
maksudnya. Lalu dia kembali tertawa dan melakukan hal yang paling menyebalkan,
mengacak-acak rambutku.
***
Resepsi
pernikahan pun digelar. Pengantin sudah duduk di singgasana mereka setelah
beberapa jam lalu melangsungkan akad nikah. Tamu undangan sudah hadir. Acara
resepsi berlangsung meriah dengan kedatangan band untuk menghibur tamu
undangan. Aku masih siaga dengan lapel mic di saku celanaku. Memastikan
semuanya baik-baik saja dan sepertinya memang baik-baik saja. Aku pun membuka
kotak makananku dan melahap beberapa snack di dalamnya.
“Mel, laper
nih,” manja Alex yang entah sejak kapan sudah berdiri dibelakangku.
“Ssst,” aku
meletakkan telunjuk di dibibirku, menyuruhnya untuk diam. Lagipula dia pasti
sudah mendapatkan jatah makanan yang sama sepertiku.
“Kalo nggak
kasih gue makan, gue bisa makan lo lho,” ancamnya yang tidak menakutiku sama
sekali. Aku masih diam tidak peduli, tetap melanjutkan aksiku melahap snack yang tersisa.
“Gue boleh nggak
minta makanan lo?” tanyanya lagi. aku heran dengannya.
“Makanan gue
udah abis, udah gue masukin semua ke mulut” tukasku kejam.
Alex kembali
tersenyum tanpa arti. Apa pula maksudnya?
“Do you wanna be
my bride?”
Aku langsung
tersedak mendengar pertanyaannya. Hello… ini acara pernikahan bukan lawakan.
Dan tadi kami sedang membahas makanan. Biarpun aku tidak begitu fasih bahasa
inggris, tapi aku tahu bahwa pertanyaannya sangat tidak nyambung dengan
pembahasan yang sedang kami bicarakan terlepas kami memang sedang berada di
event pernikahan.
“Bukannya jawab
kok malah keselek?” Alex dengan konyolnya bertanya lagi. Sambil mengumpulkan
segenap tenaga dengan meminum segelas air, aku memandang Alex penuh tanya.
“Lo ngomong
apaan sih. Jangan bercanda deh.”
“Udah jawab aja,
ntar nggak aku anterin pulang.”
“No,” jawabku
tidak peduli.
“Fix, gue nggak
mau nganterin pulang. Mulai seterusnya gue juga nggak akan nganterin lo
kemana-mana,” jawab Alex panjang. Aku tersentak. Nada bicara Alex terlihat
sangat serius. mungkinkah pertanyaannya tadi juga serius?
“Kok gitu?”
tanyaku dengan nada yang tak kalah seriusnya.
“Lo kan tau gue
anaknya pamrih. Pikirin aja sendiri kenapa gue selalu ada buat cewek ceroboh
kayak lo kalo nggak ada niat tertentu. Lo nggak peka banget sih?”
“Beneran gue
nggak ngerti lo ngomong apaan.”
“Gue suka sama
lo Mel. Gue pengin nikah sama lo,” jawab Alex yang membuatku hampir serangan
jantung. Sementara aku tak bisa mengeluarkan sepatah katapun. Aku pun
memalingkan wajahku dari pandangan Alex.
“Gue…,” aku
masih mengantung kalimatku yang tak kunjung selesai. Alex malah berbalik pergi
meninggalkan hall pernikahan. Aku
langsung berlari menyusulnya.
“Alex,”
panggilku kencang. Anak itu tidak mempedulikanku dan terus berjalan. Aku heran
mengapa jalannya begitu cepat. God, ternyata kami sudah sampai di parkiran.
Alex bertengger di atas motornya. Sekuat tenaga, aku kejar anak itu.
“Lo kok gini
sih?” kataku berhasil mencegat Alex pergi.
“Sorry, gue gampang kacau kalo ada
urusannya sama lo,” ucapnya dengan wajah penuh sesal.
“Gue cuman bingung
gimana bilang iya,” kataku keceplosan. Aku memukul kepalaku sendiri. Reaksi
Alex malah terbengong. Tidak, bukan sekedar bengong, tapi malah terkejut.
“Tadi gue cuma
bohong, ini kan hari ultah lo,” seru Alex lirih. Giliran aku yang seperti
tersambar petir. Terbongkar sudah bahwa selama ini aku sudah menyukainya lebih
dulu. Aku juga menggigit bibirku. Bahuku tanpa sengaja turun. Malu rasanya
mengakui hal seperti itu. aku pun berbalik meninggalkan Alex untuk kembali ke
pernikahan.
“Gue bohong mau
nikah sama lo, tapi gue beneran suka sama lo,” teriak Alex berhasil
menghentikan langkahku. Aku pun berbalik menatapnya.
“Maksud gue gini
… gue mau nikah sama lo … tapi nggak sekarang. Gue kan … masih nerusin karir. Elo
juga kan?”
Alex semakin
membuatku pusing. Kerutan sudah muncul didahiku saking bingungnya.
“Pokoknya lo
mesti tungguin gue. Jangan terlalu mikirin umur. Gue juga nggak akan nikah
terlalu tua kok, jadi lo tenang aja.”
“Gue…”
“Tentu aja EO
pernikahan kita bukan EO-nya Mbak Sri. Kita kan kerja sama dia,” katanya sambil
tersenyum.
“…” aku masih
diam seribu bahasa.
“Tapi boleh juga
sih kita pake Mbak Sri, bisa jadi kita dikasih diskon,” ujarnya lagi.
Aku hanya terdiam,
aku masih was-was kalau ternyata Alex bohong lagi. Aku bisa melihat dari
senyumnya yang garing. Dia pasti masih bingung.
“Pokoknya gitu
deh,” jelas Alex yang masih tidak jelas dipikiranku. Dia turun dari motornya
lalu merangkulku.
“Yuk masuk lagi,”
ajaknya sambil menggiringku. Aku menurut saja apa yang Alex lakukan padaku. Masih
menerawang seserius apa Alex terhadapku. Wajahnya biasa saja tidak menunjukan
perasaan, tapi siapa tahu kalau ternyata Alex juga menyimpan cinta di dalamnya? Aku harap dia punya, padaku.
Dan aku lupa bahwa hari ini aku ulang tahun.
Dan aku lupa bahwa hari ini aku ulang tahun.
gitu doang???
BalasHapuscerita pendek yang bener2 pendek..
Mau yang lebih panjang? Tunggu edisi mendatang. Stay tuned
HapusMau yang lebih panjang? Lebih mahal banyak.
HapusLo pikir cerpen gue obat nyamuk. Dikomentarin kek bagus atau nggak malah ngebahas panjang-panjangan, udah tau gue nggak panjang.
Hapus