Sabtu, 29 Desember 2012

INNER LOVE




Aku bergerak serampangan mengambil tasku yang aku letakkan di meja rias. Tas berhasil kudapatkan dan aku keluar dari kamar untuk sarapan di dapur. Seperti biasa, aku harus menyeduh kopiku terlebih dahulu sebelum aku mulai mengusap selai coklat kacang pada dua helai roti ditanganku. Aku masih berdiri ketika roti sudah kutumpuk dan kugigit ujungnya. Perlahan aku menuju kursi yang ada di dapur dan kuraih koran pagi yang belum sempat kubaca.
Sambil menguyah, aku menelusur berita di surat kabar edisi pagi itu. Hampir semuanya berita tentang alokasi dana pendidikan dan korupsi. So old story. Aku pun bergerak lagi ke meja dapur untuk mengambil secangkir kopi yang sudah aku buat. Ternyata sudah tidak terlalu panas dan mulai kusesap kafein nikmat itu. Handphoneku tiba-tiba saja menjerit.
“Halo,” seketika aku angkat panggilan dengan tangan kiriku. Tangan kananku masih memegang secangkir kopi.
“Mel, lo udah telat,” jawab si penelepon yang langsung membuatku hampir menjatuhkan cangkir. Buru-buru aku letakkan cangkir itu di meja.
“Emang ini udah jam berapa?” tanyaku polos. Aku melirik jam dinding yang sudah menunjukan pukul delapan kurang sepuluh menit. Aku juga hampir serangan jantung mengetahui bahwa aku harus segera berangkat kerja.
“Menurut lo?” si penelepon itu malah berteriak sewot.
“OK, gue berangkat.”
Setelah menghabiskan sarapan dengan segera, aku pun beringsut menyambar tasku. Kutinggal perabotan kotor bekas sarapan. Urusan gerabah bisa nanti sepulang kerja makanya aku tak begitu peduli. Aku dengan tergesa-gesa mengunci pintu rumahku. Bahkan rumah sekecil inipun sulit sekali mengunci pintunya. Aduh, aku ini.
“Nggak usah dikunci juga nggak bakalan ada maling kok Mel,” teriak sebuah suara mengangetkanku. Aku celingkukan mencari suara itu dan mendapati sesosok yang aku kenal.
Dialah Alex, laki-laki berpostur tinggi dan berkulit putih, tapi tidak seputih aku. Dia memiliki dagu yang tajam dan indah. Dia lebih muda dua tahun dariku, tapi dia sangat bisa aku andalkan. Bukan, dia bukan pacarku, kami hanya teman dekat. Dia bahkan tidak mau memanggilku mbak atau kak. Katanya aku lebih pendek darinya sehingga dia tidak perlu menambahkan sapaan hormat seperti itu. Yah, aku juga tidak begitu peduli. Setidaknya sekarang aku bisa meminta bantuan.
“Cepetan sini, bantuin gue ngunci pintu,” perintahku seenaknya. Alex pun berjalan mendekatiku. Dia meraih tanganku yang masih memegang gagang pintu. Sedetik kemudian pintu rumahku berhasil terkunci.
“Nih,” kata Alex melemparkan kunci rumahku. Bodohnya, aku malah kesusahan menangkapnya padahal jarak kami dekat. Alex tentu saja menertawaiku.
“Gitu aja heboh, yuk cepetan. Lo udah telat,” katanya lagi. Aku tersadar dan mengikutinya. Dia sudah bertengger di atas motornya dan memberikan helm padaku.
“Untung lo dateng, ngebut yah,” pintaku dengan nada yakin. Alex hanya mengangguk dan menyuruhku untuk naik ke atas motornya.
Cukup kencang Alex membawa motornya. Aku tak khawatir, aku malah tidak tenang kalau Alex membawa motornya pelan. Berkali-kali aku menyuruhnya untuk menambah kecepatan. Dia menolak dengan alasan takut aku jatuh terbawa angin karena tubuhku kurus. Aku terus memaksanya hingga ia sampai maximum speed. Aku yang malah terlonjak dan tanpa sadar memeluk pinggangnya dengan erat.
“Gila lo,” umpatku padanya.
“Lo sendiri yang minta,” balas Alex yang membuatku langsung mengunci mulut.
Tidak ada pembicaraan lagi dari kami sampai Alex memarkirkan motornya tepat di depan gedung Aquitar. Aku langsung mencopot helm dan berlari memasuki gedung itu. Alex sudah aku tidak pedulikan lagi, dia memang lebih muda dariku tapi dia kan sudah besar. Dia masih bisa menyusulku sendiri.
Sementara itu aku masih berlari, menaiki lift dan beberapa tangga kecil menuju hall A4. Begitu sampai disana, aku berdiam sejenak. Bahuku turun sedang aku masih ngos-ngosan sambil memegang gagang pintu alumunium hall itu. Kulihat beberapa security melihatku dengan tatapan aneh. Aku langsung tegap berdiri begitu ada salah satu security yang sepertinya ingin menolongku.
“Kenapa mbak?” tanyanya padaku.
Aku menggeleng cepat, “Nggak papa kok Pak? Pengantinnya udah didalam?” lanjutku bertanya.
“Sudah mbak. Tapi mbak nggak bisa masuk selain petugas, tamu undangan juga belum diperbolehkan masuk.”
“Saya EO,” kataku sambil menunjukan identitas yang lupa belum aku pasang.
“Oh silahkan,” kata security itu lagi sambil membukakan pintu berat berkaca itu. Aku pun melenggang masuk dan baru beberapa langkah, tubuhku seperti terdorong. Rupanya Alex sudah menyusulku lengkap dengan nafasnya yang tidak beraturan.
“Pake otak dong lo kalo mau ninggalin gue,” marahnya tidak santai. Aku hanya cengengesan yang membuatnya kesal sambil mengancak-acak rambutku. Spontan aku pukul dia dengan tas dalam genggamanku.
“Udah deh, urusin sana kerjaan lo,” ucapku galak.
Alex hanya tertawa dan dia meninggalkanku untuk mengurusi lighting. Aku sendiri kembali melanjutkan langkahku untuk bertemu kedua mempelai di ruang terpisah. Langkahku semakin cepat ketika sosok Mbak Sri muncul dari balik ruangan yang aku tuju.
“Maaf mbak, aku…”
“Telat?” tabrak Mbak Sri dengan santai. Aku hanya terseyum bodoh mendengar bosku menyindir. Wajahnya tidak tegang, tampaknya dia sudah biasa menghadapi senyuman bodohku.
“Mas Aji sama Mbak Wulan udah siap?” tanyaku lagi. jelas pertanyaan bodoh.
“Menurut kamu gimana Mel?”
Aku tersenyum lagi. Mbak Sri lalu meyuruhku mengikutinya masuk ke dalam ruangan. Di dalam sana aku cukup norak dengan menatap kagum ornament pakaian pengantin. Bahkan aku lupa belum menyapa Mas Aji dan Mbak Wulan juga beberapa staff perias disana.
“Udah kamu nggak usah heboh begitu,” tegur Mbak Sri mengagetkanku. Dia menunjuk sebuah meja dimana ada berbagai kertas dalam sebuah map. Aku mengangguk mantap dan segera bergerak menuju map itu. mbak Sri melanjutkan tugasnya membriefing para perias itu.
Seperti ketika aku membaca surat kabar, aku juga menelusuri rangkaian acara dalam file tersebut. Aku sudah paham dimana posisiku untuk tetap siaga selama acara berlangsung. Aku harus tetap disamping pelaminan karena akulah pengurus bagian itu.
“Gimana? kamu udah paham Mel?” Mbak Sri bertanya sekaligus berharap.
“Udah Mbak,” jawabku singkat.
“Oh, ini toh yang namanya Melanie, cantik yah,” kata Mbak Wulan menabrak obrolan kami. Aku terkesiap melihat Mbak Wulan datang, dia cantik bahkan dia belum memakai riasan. Disampingnya ada Mas Aji, calon suaminya.
“Iya Mbak, saya Melanie,” ujarku memperkenalkan diri. Kami memang baru pertama kali bertemu.
“Saya Wulan. Ini Mas Aji.” Aku dan Mbak Wulan berjabat tangan.
“Aji,” balas Mas Aji singkat. Kami juga berjabat tangan.
“Saya udah tau dari Mbak Sri, tapi belum pernah liat kalian berdua sih,” kataku membuka obrolan. Rupanya kami malah sibuk terlibat obrolan sana-sini. Mbak Wulan dan Mas Aji pasangan serasi yang enak diajak koprol eh ngobrol.
“Mas Aji ini dulunya cuek banget lho Mel, aku juga sebel,” curhat Mbak Wulan mengingat awal mereka belum terlalu kenal satu sama lain.
“Tapi kan kamu suka cowok cool kayak aku,” balas Mas Aji tidak terima. Aku hanya tertawa saja.
“Tapi kan waktu itu kamu sombong,” sergah Mbak Wulan lagi. Aku hanya berharap mereka tidak berantem karena sebentar lagi mereka akan menikah.
“Iya deh, terserah kamu,” ujar Mas Aji mengalah. Malah aku yang lega. “Kamu udah menikah belum Mel?” tanyanya lagi padaku. Aku hanya celingukan tidak jelas seperti mencari jawaban. Menjawab “belum” rasanya kok berat.
“Hehehe, belum Mas, cariin dong.”
“Pasti cewek kayak kamu seleranya tinggi yah.”
“Saya emang suka cowok tinggi Mas,” jawabku innocent. Mereka berdua malah tertawa.
Kami masih mengobrol random hingga aku hampir lupa tugasku belum dikerjakan. Aku harus mereview pelaminan agar terlihat indah dan juga aman. Aku pun menginterview mereka untuk mempersiapkan pelaminan sesuai permintaan pengantin.
“Saya pamit dulu yah,” kataku setelah interview selesai. Mas Aji dan Mbak Wulan mengangguk. Aku pun meninggalkan ruangan.
Hall A4 ternyata luas. Pasti sewanya mahal dan ribet. Aku langsung mengurusi kursi-kursi dan meja tamu. Setelah selesai, aku bergerak menuju panggung pelaminan. Sudah ada sofa pengantin disana. Aku dengan iseng duduk di sofa tersebut, memandang seluruh ruangan dan menikmatinya. Rasanya aku juga ingin menikah disini. Tapi nanti ketika sudah ketemu jodohnya.
“Jodoh jangan cuman dipikirin tapi juga dicari,” suara Alex yang kukenal menggerayangi telingaku. Aku menoleh dan mendapati Alex duduk disampingku.
“Udah beres belum kerjaan lo?” tanyaku santai, tidak peduli ucapan Alex.
“Kalopun males nyari, yang ada di depan mata juga boleh,” Alex juga tidak menghiraukan perkataanku. Aku hanya terbengong.
Alex menggerakan kepalanya menatapku. Dia tersenyum penuh arti tapi aku tidak mengerti maksudnya. Lalu dia kembali tertawa dan melakukan hal yang paling menyebalkan, mengacak-acak rambutku.

***
Resepsi pernikahan pun digelar. Pengantin sudah duduk di singgasana mereka setelah beberapa jam lalu melangsungkan akad nikah. Tamu undangan sudah hadir. Acara resepsi berlangsung meriah dengan kedatangan band untuk menghibur tamu undangan. Aku masih siaga dengan lapel mic di saku celanaku. Memastikan semuanya baik-baik saja dan sepertinya memang baik-baik saja. Aku pun membuka kotak makananku dan melahap beberapa snack di dalamnya.
“Mel, laper nih,” manja Alex yang entah sejak kapan sudah berdiri dibelakangku.
“Ssst,” aku meletakkan telunjuk di dibibirku, menyuruhnya untuk diam. Lagipula dia pasti sudah mendapatkan jatah makanan yang sama sepertiku.
“Kalo nggak kasih gue makan, gue bisa makan lo lho,” ancamnya yang tidak menakutiku sama sekali. Aku masih diam tidak peduli, tetap melanjutkan aksiku melahap snack yang tersisa.
“Gue boleh nggak minta makanan lo?” tanyanya lagi. aku heran dengannya.
“Makanan gue udah abis, udah gue masukin semua ke mulut” tukasku kejam.
Alex kembali tersenyum tanpa arti. Apa pula maksudnya?
“Do you wanna be my bride?”
Aku langsung tersedak mendengar pertanyaannya. Hello… ini acara pernikahan bukan lawakan. Dan tadi kami sedang membahas makanan. Biarpun aku tidak begitu fasih bahasa inggris, tapi aku tahu bahwa pertanyaannya sangat tidak nyambung dengan pembahasan yang sedang kami bicarakan terlepas kami memang sedang berada di event pernikahan.
“Bukannya jawab kok malah keselek?” Alex dengan konyolnya bertanya lagi. Sambil mengumpulkan segenap tenaga dengan meminum segelas air, aku memandang Alex penuh tanya.
“Lo ngomong apaan sih. Jangan bercanda deh.”
“Udah jawab aja, ntar nggak aku anterin pulang.”
“No,” jawabku tidak peduli.
“Fix, gue nggak mau nganterin pulang. Mulai seterusnya gue juga nggak akan nganterin lo kemana-mana,” jawab Alex panjang. Aku tersentak. Nada bicara Alex terlihat sangat serius. mungkinkah pertanyaannya tadi juga serius?
“Kok gitu?” tanyaku dengan nada yang tak kalah seriusnya.
“Lo kan tau gue anaknya pamrih. Pikirin aja sendiri kenapa gue selalu ada buat cewek ceroboh kayak lo kalo nggak ada niat tertentu. Lo nggak peka banget sih?”
“Beneran gue nggak ngerti lo ngomong apaan.”
“Gue suka sama lo Mel. Gue pengin nikah sama lo,” jawab Alex yang membuatku hampir serangan jantung. Sementara aku tak bisa mengeluarkan sepatah katapun. Aku pun memalingkan wajahku dari pandangan Alex.
“Gue…,” aku masih mengantung kalimatku yang tak kunjung selesai. Alex malah berbalik pergi meninggalkan hall pernikahan. Aku langsung berlari menyusulnya.
“Alex,” panggilku kencang. Anak itu tidak mempedulikanku dan terus berjalan. Aku heran mengapa jalannya begitu cepat. God, ternyata kami sudah sampai di parkiran. Alex bertengger di atas motornya. Sekuat tenaga, aku kejar anak itu.
“Lo kok gini sih?” kataku berhasil mencegat Alex pergi.
Sorry, gue gampang kacau kalo ada urusannya sama lo,” ucapnya dengan wajah penuh sesal.
“Gue cuman bingung gimana bilang iya,” kataku keceplosan. Aku memukul kepalaku sendiri. Reaksi Alex malah terbengong. Tidak, bukan sekedar bengong, tapi malah terkejut.
“Tadi gue cuma bohong, ini kan hari ultah lo,” seru Alex lirih. Giliran aku yang seperti tersambar petir. Terbongkar sudah bahwa selama ini aku sudah menyukainya lebih dulu. Aku juga menggigit bibirku. Bahuku tanpa sengaja turun. Malu rasanya mengakui hal seperti itu. aku pun berbalik meninggalkan Alex untuk kembali ke pernikahan.
“Gue bohong mau nikah sama lo, tapi gue beneran suka sama lo,” teriak Alex berhasil menghentikan langkahku. Aku pun berbalik menatapnya.
“Maksud gue gini … gue mau nikah sama lo … tapi nggak sekarang. Gue kan … masih nerusin karir. Elo juga kan?”
Alex semakin membuatku pusing. Kerutan sudah muncul didahiku saking bingungnya.
“Pokoknya lo mesti tungguin gue. Jangan terlalu mikirin umur. Gue juga nggak akan nikah terlalu tua kok, jadi lo tenang aja.”
“Gue…”
“Tentu aja EO pernikahan kita bukan EO-nya Mbak Sri. Kita kan kerja sama dia,” katanya sambil tersenyum.
“…” aku masih diam seribu bahasa.
“Tapi boleh juga sih kita pake Mbak Sri, bisa jadi kita dikasih diskon,” ujarnya lagi.
Aku hanya terdiam, aku masih was-was kalau ternyata Alex bohong lagi. Aku bisa melihat dari senyumnya yang garing. Dia pasti masih bingung.
“Pokoknya gitu deh,” jelas Alex yang masih tidak jelas dipikiranku. Dia turun dari motornya lalu merangkulku.
“Yuk masuk lagi,” ajaknya sambil menggiringku. Aku menurut saja apa yang Alex lakukan padaku. Masih menerawang seserius apa Alex terhadapku. Wajahnya biasa saja tidak menunjukan perasaan, tapi siapa tahu kalau ternyata Alex juga menyimpan cinta di dalamnya? Aku harap dia punya, padaku.
Dan aku lupa bahwa hari ini aku ulang tahun.

4 komentar:

  1. gitu doang???
    cerita pendek yang bener2 pendek..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mau yang lebih panjang? Tunggu edisi mendatang. Stay tuned

      Hapus
    2. Mau yang lebih panjang? Lebih mahal banyak.

      Hapus
    3. Lo pikir cerpen gue obat nyamuk. Dikomentarin kek bagus atau nggak malah ngebahas panjang-panjangan, udah tau gue nggak panjang.

      Hapus