Hal yang paling penting dalam
pertemanan adalah memperlakukan temen kita sebaik mungkin. Yah, nggak munafik
juga bahwa tergantung situasi, tergantung juga temen kita kayak apa. Gue
sendiri punya berbagai macam temen dengan berbagai kelakuan. Cara gue
memperlakukan mereka pun beda-beda. Bukannya pilih kasih, tapi liat juga sih
temen kita pantesnya diperlakukan kayak apa. Kalau temen kita termasuk anak
yang lurus-lurus aja, nggak macem-macem, yah masa mau kita macem-macemin? Kalau
temen kita nggak lurus-lurus banget dan sering berbelok-belok, biasanya sih
lebih enak diledek dan tipe-tipe begini udah umum. Pertemanan klasik tapi awet
karena lebih rileks satu sama lain (biasanya). Nah, kalo temen kita adalah tipe
yang sering belok, dengan kata lain, dia nggak bisa dibilang anak baik secara
pandangan umum, mungkin agak-agak susah sih mau memperlakukan dia kayak apa.
Ibaratnya bingung kan harus tetep berteman sama nih orang tapi reputasi kita
jadi ikut-ikutan gelap, tapi kalo diputus begitu aja, dia temen kita. Susah
emang kalo mau ambil keputusan yang tepat. Gue sendiri juga bakalan bingung
menghadapi situasi kayak gitu.
Gue emang bukan temen yang
baik-baik banget, yang akan selalu ada di kala temen susah dan selalu ada
disaat mereka butuh. Gue bukan kurir makanan cepat saji kalo temen-temen gue
laper. Tapi bukan berarti gue nggak setia lho. Biar gimana gue sadar kalo gue
dan temen-temen saling membutuhkan. Itu salah satu prinsip yang gue tau dalam
bersosialisasi sama temen.
Dan apakah semua temen gue lurus?
Atau paling nggak normal deh? Jawabannya: NGGAK. Gue punya temen yang bisa
dibilang musuh semua wanita. Dia cowok, bisa ditebak dengan mudah bahwa temen
gue adalah womanizer atau bahasa yang
lebih dramatisnya, playboy. Yups, playboy merupakan hal yang sangat nggak
baik dalam berhubungan pacaran (terlepas dari bahasan pacaran yang masih jadi
pro-kontra). Karena apa? Yah karena rakus, nggak puas kalo cuma punya 1 atau 2
cewek. Yang lebih menggelegar adalah ketika dia ganti cewek kayak dia beli
donat. Nggak nyampe seminggu ceweknya diputusin, dan pada saat itu juga punya
gandengan baru, kurang jahat apalagi. Gue speechless.
Sebut saja LD, temen gue si womanizer. Dia suka cewek, hobinya cari
cewek, yang paling disukai cewek, yang paling dibenci, nggak punya cewek. Gue
harus menelan ludah ketika gue mau nggak mau mengakui dia sebagai temen gue.
Sama layaknya playboy yang lain,
reputasi pacarannya nggak usah ditanya, mantannya mungkin bisa disamakan dengan
jumlah kolang-kaling yang ada di es buah atau jumlah biji delima. Dia dengan
begonya pernah iseng nembak gue, pengin mengenal gue lebih deket, katanya gitu.
Gue salah satu dari sekian banyak cewek yang nolak dia karena udah tau reputasi
kriminalitas dia dalam pendekatan sama wanita. Sialnya, gue adalah satu-satunya
temen cewek yang dia punya. Atau mungkin nggak satu-satunya, dia kan playboy, bisa jadi cuma menarik simpati.
Cowok kayak LD ini nggak serius
gue tanggepin sih, karena urusannya cuma tentang cewek-ceweknya. Dia bisa
dibilang cakep dan orang tuanya kaya, modal deh jadi playboy. Bedanya dia sama playboy
yang lain adalah gaya ngerayu si cewek, istilahnya camouflage style -gaya
kamuflase. Tau nggak maksudnya apa? Kalo udah tau ya udah kalo belum tau tenang
aja bakalan gue jelasin. Intinya, kamuflse yang dimaksud adalah jujur tapi
bohong. Gimana kata-katanya yah, jadi gini, dia akan merayu si cewek dengan
menceritakan keburukannya dia, bahkan dia ngaku kalo dia playboy. OK, trik baru. Si cewek merasa bahwa dia bakalan bikin LD
berubah hingga dia tertarik, terus setelah LD bosen, si cewek diputusin gitu
aja. Yah emang jahat banget sih, tapi dia tetep berhasil kalo ngajak balikan.
Gue sih mikirnya money is everything, he has
money indeed. Gue akuin LD termasuk keren untuk reputasinya sebagai playboy, bahkan kalo dia selebriti, dia
mungkin udah bikin berita skandal di berbagai portal berita sejak usia belasan
tahun. Tapi tetep aja, playboy is playboy.
Apapun bentuk LD itu, dia masih
temen gue. Yah seenggaknya dia sering minjemin gue koleksi Harlem Beat ataupun
Initial D. Kadang-kadang, iya kadang-kadangnya pake banget, dia bantuin gue
urusan kuliah. Everything is OK but his
real image. Sebenernya, gue juga nggak segitunya menganggap dia buruk,
meskipun dia 100% bad boy. Layaknya playboy kebanyakan, dia nggak akan macem-macem
sama cewek yang nggak suka macem-macem. Dia suka cewek yang dandanannya menor
dan cengeng, tapi yah sekedar untuk main-main. Untuk serius, dia belum
menentukan tipe ideal.
Kadang-kadang lagi, dia sering
ngobrol sama gue, satu adegan yang gue inget adalah ketika ngobrol sama dia
beberapa waktu lalu. Dia mulai menerawang tentang cewek idealnya.
“Banyak cowok yang lebih suka cewek sederhana,
gue juga suka,” katanya gitu. Gue cuman mengangguk dan setuju-setuju aja.
“Tapi gue prefer cuman dandanannya aja yang sederhana,” katanya lagi.
“Maksud lo?” gue bingung beneran.
“Gue prefer otaknya nggak sederhana, passion-nya
juga nggak sederhana. Kalopun dia nggak fokus ke brain, paling nggak dia knowledgeable,”
jawabnya ribet, gue cuman menerka-nerka sendiri. Bingung beneran kata-katanya
kayak lagi merayu gue, merayu otak gue buat mencerna apa sih intinya dia
ngomong kayak gitu.
Sementara gue masih bingung, dia
ngomong lagi, “Gue suka cewek yang open
minded, yang bisa melihat gue dari berbagai sudut.”
Gue mulai bisa mengerti maksud
dari kata-kata LD, “Nah kan banyak cewek yang ngasih kesempatan sama lo? Mereka
pinter-pinter masih lo mainin juga,” ujar gue mengingatkan kejahatan dia.
“Mereka pinter doang, just it. Nggak
ada yang special.”
“Manusia nggak ada yang sempurna
bro,” ucap gue penuh sesal menganggap dia sodara.
“Lu denger nggak, gue kan tadi
ngomongnya “special” bukan “perfect”.”
“Owh…”jawab gue singkat. Pengin
sih gue lebarin cuma bingung apa yang mesti gue perlebar.
“Gue nggak suka cewek yang
bermodal ketulusan doang, tapi nggak punya inisiatif, nggak berpikir kedepan
dan cemburuan.”
“…”
“Gue sering baca di page-page fb
tentang istri yang baik tuh yang sederhana, lembut, penuh pengertian, nggak
terlalu cantik, nggak terlalu cerdas, selalu di rumah ngurus keluarga, terima
gaji suami apa adanya. Tapi menurut gue ngebosenin.”
“…”
“Gue pengin melihat sisi
pemberontakan seorang cewek tuh dimana, bukan berarti dia nggak nurut sama gue,
tapi lebih keinginan dia untuk menguatkan gue dengan segala pemikirannya. Gue
pengin punya cewek yang bisa diajak berantem dengan logis.”
“Udah nemu belum?”
“Belum, makanya cariin dong, yang
jelas tingginya harus 160 centi keatas,” jawabnya cengengesan sambil melirik
gue.
OK fine, dia main fisik. Gue hajar dia dengan bogem mentah gue yang
meluncur tepat di dadanya. Impas, tangan gue sakit, dada dia juga sakit. Jangan
harap gue mau bantuin, tapi kalo dia ngasih imbalan nggak papa sih. #eeaaa. Dia cuman ketawa, gue ketawa juga. Tapi dari
obrolan itu gue jadi menemukan sesuatu.
Cukup gue tau secara universal
tipenya si LD itu kayak apa. Sebenernya sejelek apapun cowok tetep pengin punya
cewek yang baik, lebih baik dari dia malah. Tapi gue suka cara dia berpikir.
Mungkin tipenya dia juga bisa gue buat referensi bahwa kita harus memandang
seseorang dari berbagai sudut, lebih terbuka dan lebih menghargai orang.
Seperti LD, biarpun dia playboy, tapi
dia nggak pernah ngapa-ngapain ceweknya. Bisa dibilang LD kalo pacaran nggak
serem, malah cenderung lurus. Dia bahkan nggak mau dipeluk kalo ngeboncengin
cewek, serius, katanya risih serasa diliatin orang-orang. Dan dia sering cerita
sama gue bagaimana dia memutuskan mantan-mantannya, kadang gue ketawa, kadang
gue pengin mengcekik lehernya. Dia temen berantem gue sih makanya kita klop.
Tapi tetep aja, dia masih playboy. Dia harus berubah kalo nggak
mau kena batunya. Biar gimana dia udah menyakiti sekian wanita, masa iya
hidupnya selalu tenang. Meskipun gue belum tau setenang apa hidupnya tapi pasti
dia bakalan dapet pelajaran. Moga-moga aja dia nggak semakin belagu dan tak tau
arah jalan pulang. LD emang bukan cowok baik-baik tapi dia berhak jadi anak
baik-baik dan punya kehidupan yang baik. Karena sekali lagi, dia tetep temen
gue meskipun dia “The Womanizer.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar