Meskipun bukan
musim liburan, kebun binatang yang terletak di kawasan Jakarta Selatan tetap ramai
pengunjung. Semua pengunjung terlihat antusias menikmati keanekaragaman satwa
disana, termasuk Lintang, anak kelas 3 SMA yang berwisata sendirian. Tidak
seperti anak-anak seumurannya yang lebih suka ke mall ataupun theater dengan
teman atau pacar mereka, Lintang justru memilih kebun binatang sebagai tempat yang
dia tuju untuk mengisi waktu sore sepulang sekolah. Seragam sekolahnya masih terlihat
bersih meskipun agak kusut. Namun semua itu tak menghalangi Lintang untuk
berjalan-jalan dengan senyum mengembang. Dengan menggunakan kamera ponselnya, Lintang
mengambil gambar beberapa satwa yang dia kunjungi.
“Nice shoot,”
teriak Lintang senang. Di depan kandang jerapah, Lintang mengambil portrait
satwa jangkung itu. Dia pun melihat-lihat kembali hasil jepretannya yang dari
tadi dia ambil. Sepertinya dia sudah terlalu banyak foto karena memorinya sudah
limit dan tak bisa mengambil foto lagi.
“Ah, gue belum
ngambil foto kadal nih,” keluhnya lemas. Terpaksa Lintang mengantongi ponselnya
dan memutuskan untuk berjalan-jalan saja tanpa ada shoot-shoot lain. Dia pun
berkeliling dari satu kandang ke kandang lain melihat-lihat berbagai macam
hewan sambil sesekali memaksa petugas kebun binatan untuk mengijinkannya ikut
memberi makan para hewan.
Lintang melirik
jam tangannya, sudah pukul setengah enam sore. Dia harus segera pulang karena
hari semakin gelap. Cukup kesulitan Lintang keluar dari areal kebun binatang
karena sebagian pengunjung juga berdesakan untuk pulang. Tepat di depan pintu
keluar, Lintang menelusuri ada yang aneh dengan salah satu pengunjung yang
berada tepat di depannya. Dia selalu menghalangi Lintang untuk mendahuluinya.
Setelah berdehem cukup keras, pengunjung yang ternyata seorang gadis itu
akhirnya berbalik menghadap Lintang dan kedua mata mereka bertemu. Lintang
sangat terkejut mendapati gadis itu di depannya.
“Lunar?”
Gadis yang ternyata
bernama Lunar itu menampakkan senyum yang dipaksakan. Matanya sendu tidak
seperti yang biasa Lintang lihat. Lunar menunjukan satu tangannya yang mengepal
tepat di depan mata Lintang. Sebisa mungkin Lintang tenang sambil memperhatikan
kepalan tangan Lunar, kemudian memandang wajah gadis itu bergantian.
“Apa?” Lintang
sudah tidak tahan lagi menutupi rasa penasarannya.
Lunar membuka
kepalan tangannya dan menampakan sekumpulan pil putih.
“Apa?” Lintang
masih penasaran dengan pil-pil tersebut.
“Makan ini,
awalnya memang pahit tapi… akhirnya manis.”
“Lo ngomong
apaan sih?”
“Kamu adalah
bintang yang pantas bersanding dengan bulan sepertiku.”
“Hah? Gue nggak
ngerti lagi deh.”
Lunar masih
dengan senyumnya yang dipaksakan, menyerahkan separoh dari kumpulan pil
ditangannya ke genggaman Lintang dengan paksa.
“Ayo kita minum
sama-sama. Kamu dan aku akan selalu bersama nantinya.”
Lintang tergagap
menanggapi, “Gue…ha…harus pulang.”
“Ayo,” ajak
Lunar. Lintang menggeleng.
Kali ini Lunar
memaksakan pil-pil itu masuk ke dalam mulut Lintang yang dengan sigap Lintang
bisa menghindar dengan mudah. Lunar menjadi geram dan mencoba lebih keras
memaksa Lintang.
“Kamu harus minum
ini,” teriak Lunar memaksa. Lintang tidak goyah dan dalam hitungan detik,
tamparan keras meluncur dari tangan Lintang ke wajah Lunar. Lintang juga
mendorong Lunar dengan keras sampai gadis itu terjatuh.
“Gimana bisa lo
kesini?”
Lunar bangkit
dari jatuhnya dan kembali menatap Lintang. Di genggamannya masih ada pil-pil
yang dia bawa, “Ayo kita makan ini,” pintanya lagi. Lintang semakin takut. Dia mencari
celah agar Lunar tidak terus memaksanya. Orang-orang tidak ada yang peduli dengan
mereka.
“Dia disana!!!”
Lintang dan
Lunar bersamaan mencari suara yang tiba-tiba datang. Sedetik kemudian datang
dua orang perawat laki-laki dan memaksa Lunar ikut dengan mereka. Lintang tidak
bisa berbuat apa-apa dan membiarkan dua orang itu membawa Lunar yang meronta
memasuki ambulan. Lintang juga didatangi oleh seseorang yang setelah dekat,
Lintang baru sadar orang tersebut adalah ayahnya.
“Kamu nggak papa?”
tanya ayahnya khawatir.
“Lunar?”
“Dia akan
baik-baik aja. Kamu nggak usah kuatir sama dia.”
“Tapi…” Lintang
tampak ragu meneruskan kalimatnya.
“Papa tau, tapi
ini lebih baik.”
“Harusnya aku
Lintang yang menemani Lunar.”
“Tapi nggak
sekarang, ayo kita pulang,” ajak ayahnya lagi. Lintang pun terpaksa ikut
ayahnya pulang walaupun pikirannya masih tertuju pada Lunar. Dia mengambil
ponselnya yang penuh dengan foto-foto satwa. Tapi dari banyaknya gambar
binatang yang dia ambil, hanya jerapahlah yang mampu memenuhi memori ponsel
Lintang sampai limit. Dia selalu ingat kata-kata Lunar untuknya.
“Kita lebih
tinggi dari jerapah. Karena kita adalah bintang dan bulan yang selalu berada di
tempat tertinggi.”
Lintang hanya
bisa meneteskan airmata untuk saudara kembarnya itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar