Minggu, 17 Februari 2013

MY GLOOMY LUNAR



Meskipun bukan musim liburan, kebun binatang yang terletak di kawasan Jakarta Selatan tetap ramai pengunjung. Semua pengunjung terlihat antusias menikmati keanekaragaman satwa disana, termasuk Lintang, anak kelas 3 SMA yang berwisata sendirian. Tidak seperti anak-anak seumurannya yang lebih suka ke mall ataupun theater dengan teman atau pacar mereka, Lintang justru memilih kebun binatang sebagai tempat yang dia tuju untuk mengisi waktu sore sepulang sekolah. Seragam sekolahnya masih terlihat bersih meskipun agak kusut. Namun semua itu tak menghalangi Lintang untuk berjalan-jalan dengan senyum mengembang. Dengan menggunakan kamera ponselnya, Lintang mengambil gambar beberapa satwa yang dia kunjungi.

“Nice shoot,” teriak Lintang senang. Di depan kandang jerapah, Lintang mengambil portrait satwa jangkung itu. Dia pun melihat-lihat kembali hasil jepretannya yang dari tadi dia ambil. Sepertinya dia sudah terlalu banyak foto karena memorinya sudah limit dan tak bisa mengambil foto lagi.
“Ah, gue belum ngambil foto kadal nih,” keluhnya lemas. Terpaksa Lintang mengantongi ponselnya dan memutuskan untuk berjalan-jalan saja tanpa ada shoot-shoot lain. Dia pun berkeliling dari satu kandang ke kandang lain melihat-lihat berbagai macam hewan sambil sesekali memaksa petugas kebun binatan untuk mengijinkannya ikut memberi makan para hewan.
Lintang melirik jam tangannya, sudah pukul setengah enam sore. Dia harus segera pulang karena hari semakin gelap. Cukup kesulitan Lintang keluar dari areal kebun binatang karena sebagian pengunjung juga berdesakan untuk pulang. Tepat di depan pintu keluar, Lintang menelusuri ada yang aneh dengan salah satu pengunjung yang berada tepat di depannya. Dia selalu menghalangi Lintang untuk mendahuluinya. Setelah berdehem cukup keras, pengunjung yang ternyata seorang gadis itu akhirnya berbalik menghadap Lintang dan kedua mata mereka bertemu. Lintang sangat terkejut mendapati gadis itu di depannya.
“Lunar?”
Gadis yang ternyata bernama Lunar itu menampakkan senyum yang dipaksakan. Matanya sendu tidak seperti yang biasa Lintang lihat. Lunar menunjukan satu tangannya yang mengepal tepat di depan mata Lintang. Sebisa mungkin Lintang tenang sambil memperhatikan kepalan tangan Lunar, kemudian memandang wajah gadis itu bergantian.
“Apa?” Lintang sudah tidak tahan lagi menutupi rasa penasarannya.
Lunar membuka kepalan tangannya dan menampakan sekumpulan pil putih.
“Apa?” Lintang masih penasaran dengan pil-pil tersebut.
“Makan ini, awalnya memang pahit tapi… akhirnya manis.”
“Lo ngomong apaan sih?”
“Kamu adalah bintang yang pantas bersanding dengan bulan sepertiku.”
“Hah? Gue nggak ngerti lagi deh.”
Lunar masih dengan senyumnya yang dipaksakan, menyerahkan separoh dari kumpulan pil ditangannya ke genggaman Lintang dengan paksa.
“Ayo kita minum sama-sama. Kamu dan aku akan selalu bersama nantinya.”
Lintang tergagap menanggapi, “Gue…ha…harus pulang.”
“Ayo,” ajak Lunar. Lintang menggeleng.
Kali ini Lunar memaksakan pil-pil itu masuk ke dalam mulut Lintang yang dengan sigap Lintang bisa menghindar dengan mudah. Lunar menjadi geram dan mencoba lebih keras memaksa Lintang.
“Kamu harus minum ini,” teriak Lunar memaksa. Lintang tidak goyah dan dalam hitungan detik, tamparan keras meluncur dari tangan Lintang ke wajah Lunar. Lintang juga mendorong Lunar dengan keras sampai gadis itu terjatuh.
“Gimana bisa lo kesini?”
Lunar bangkit dari jatuhnya dan kembali menatap Lintang. Di genggamannya masih ada pil-pil yang dia bawa, “Ayo kita makan ini,” pintanya lagi. Lintang semakin takut. Dia mencari celah agar Lunar tidak terus memaksanya. Orang-orang tidak ada yang peduli dengan mereka.
“Dia disana!!!”
Lintang dan Lunar bersamaan mencari suara yang tiba-tiba datang. Sedetik kemudian datang dua orang perawat laki-laki dan memaksa Lunar ikut dengan mereka. Lintang tidak bisa berbuat apa-apa dan membiarkan dua orang itu membawa Lunar yang meronta memasuki ambulan. Lintang juga didatangi oleh seseorang yang setelah dekat, Lintang baru sadar orang tersebut adalah ayahnya.
“Kamu nggak papa?” tanya ayahnya khawatir.
“Lunar?”
“Dia akan baik-baik aja. Kamu nggak usah kuatir sama dia.”
“Tapi…” Lintang tampak ragu meneruskan kalimatnya.
“Papa tau, tapi ini lebih baik.”
“Harusnya aku Lintang yang menemani Lunar.”
“Tapi nggak sekarang, ayo kita pulang,” ajak ayahnya lagi. Lintang pun terpaksa ikut ayahnya pulang walaupun pikirannya masih tertuju pada Lunar. Dia mengambil ponselnya yang penuh dengan foto-foto satwa. Tapi dari banyaknya gambar binatang yang dia ambil, hanya jerapahlah yang mampu memenuhi memori ponsel Lintang sampai limit. Dia selalu ingat kata-kata Lunar untuknya.
“Kita lebih tinggi dari jerapah. Karena kita adalah bintang dan bulan yang selalu berada di tempat tertinggi.”
Lintang hanya bisa meneteskan airmata untuk saudara kembarnya itu.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar