Tanggal 12 kemaren gue resmi di
wisuda. Tapi momen ‘membahagiakan ‘ itu bukan hal yang excited buat gue.
Kenapa? Karena dengan wisuda gue harus mengakui kekuatan keinginan orang tua
gue. Harusnya bangga sih, orang tua selalu support agar gue lulus, tapi entah
kenapa itu bukan yang ada di hati gue. Justru karena support itulah gue merasa
gue telah kalah.
Ya. Gue resmi kalah telak. Pertama,
gue harus kalah dengan birokrasi kampus yang menurut gue bukanlah birokrasi
yang bagus. Gue mencoba idealis dengan hal itu tapi ternyata idealism gue
seperti berakhir ketika gue wisuda. Gue mengikuti birokrasi yang nggak sesuai
dengan idealism gue. Kedua, masih masalah idealism, gue harus kalah dengan
dosen pembimbing yang sebenernya nggak membimbing, bahkan cenderung ngerepotin.
Gue yang punya banyak keinginan dalam penelitian gue terpaksa nyelesein skripsi
sesuai bentukan mereka. Dengan tidak bangganya, gue pun punya cetakan skripsi
yang lebih tepat buat di jadiin tatakan lampu tidur. Ketiga, gue harus kalah
sama orang tua gue. Sebagai orang yang cukup idealis, gue –sampe saat ini belum
bisa ngebuktiin ke mereka bahwa gue sebenernya nggak butuh ijasah S.Pd. tapi
dengan gue di wisuda, dan gue mendapatkan ijasah itu, artinya gue –keliatannya
memang butuh S.Pd dan jadi guru atau PNS. Sakit banget.
Tapi dibalik semua itu gue berpikir
ulang. Apakaha gue bener-bener kalah? Atau ketiga hal tadi hanyalah cara gue
mengalah? Ya, gue mengalah pada birokrasi merepotkan itu. Artinya, gue meminimalisir
ketegangan ketika gue ingin menyelesaikan kuliah gue dengan cara birokrasi yang
gue pilih. Lalu gue pun merasa mengalah karena gue nggak mau dosbing merasa di
remehkan oleh mahasiswanya. Ya, gue mengalah agar dosbing2 itu nggak kehilangan
percaya diri mereka. Mungkin, mungkin juga sebenernya gue sama sekali nggak
punya kualitas. Tapi kalopun gue nggak berkualitas dalam bidang skripsi
pendidikan semacem itu, gue terima, DENGAN SENANG HATI. NGGAK NIAT JUGA SIH.
Dan gue sudah berusaha mengalah dengan kasih orang tua gue ijasah dan wisuda.
Terserah mereka mau simpen ijasahnya, mau di apain juga gue nggak mikirin. Gue
mengalah menunda mimpi gue demi lembaran-lembaran yang kertasnya nggak lebih
mahal dari buku gambar. Dan itu semua keinginan orang tua gue.
Untuk saat ini, gue mencoba bersyukur,
lapang dada dan selalu positive thinking. At least, kekalahan atau sikap
mengalah itu menghasilkan beberapa hal. Dari mulai cari temen yang bener sampe
jadi orang yang lebih bener. (Insya Alloh)
Makasih buat segelintir orang yang
udah ngucapin selamat di wisuda. Gue sangat mengapresiasi itu. Walau gimana
juga gue seneng akhirnya bisa keluar dari kandang macan. Padahal dulu masuknya
gampang banget.
Sekali lagi, gue bukannya ingin
mengumbar bahwa gue adalah penjual mimpi, tapi gue punya beberapa hal yang
ingin dan akan gue lakukan. Berhasil atau nggak, kalo nggak di coba, mana kita
tau? Ada yang support atau nggak ya gue nggak peduli. Gue percaya satu hal, ada
usaha, pasti ada hasil, memuaskan atau tidak, toh gue sendiri yang ngejalanin
prosesnya. Kepuasan itu yang ngerasain orang yang usaha. Gue peduli kok omongan
orang, peduli sama saran atau kritikan, dan gue rasa gue bisa memilih perkataan
yang perlu di dengar. Yang jelas, GUE nggak mau kalah lagi atau terus-terusan
mengalah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar