Setelah mendapatkan serangkain ehm kritikan dan masukan dari teman-teman reader setia gue, akhirnya gue memutuskan untuk membuat cerpen dengan cerita yang lebih wajar. Gue masih konsisten dengan nama-nama temen-temen gue karena yah gue suka aja gitu. (Sebenernya males nyari nama lain). OK fix, cerita ini fiksi belaka dan jangan berfikir yang nggak-nggak.
Cekidot:![]() |
Poster Harus Terpisah |
HARUS TERPISAH
Starring: Heru
Pramono, Pipit S Mularsih, Muhammad Ridlo Nur Ar Rofi, Yasinta Wulandari
OST: Harus Terpisah –
Cakra Khan
Produser: Ann Zamzami
Editor: Ann Zamzami
lagi
Script writer: Ann
Zamzami juga
Director: Lagi-lagi
Ann Zamzami
==========================================================
Bulan sabit
tersenyum ramah menyambut awal bulan. Bahkan senyumnya bisa diibaratkan senyum
seseorang yang menerima gaji di awal bulan juga. Pipit, gadis yang tidak punya
lesung pipit itu juga tersenyum memandangi bulan sabit yang menerima gaji awal
bulan. Dia sedang bahagia karena mendapat gaji pertamanya di awal bulan.
“Mau diapain yah
uangnya?” pikirnya berat. Yah memang sangat berat mengingat banyak sekali
rencana yang ingin dia jalankan. Tapi dia sendiri hanya punya sedikit uang dari
gaji awal bulannya. Rasanya bingung menentukan rencana yang mana yang dia pilih
dulu, semua rencana sama pentingnya.
“Mungkin kasih
mama dulu aja deh,” katanya bersemangat. Dia hanya berpikir hal itu yang paling
tepat meskipun dia tahu bahwa mamanya tidak pernah mengharapkan sepeser pun uang
darinya. Pipit juga sadar bahwa dia tidak akan bisa membayar mamanya dengan
gaji awal bulan itu, bahkan gaji-gaji lain yang akan dia terima. Tapi Pipit
yakin, mamanya akan bahagia menerima uang darinya, bukan untuk memenuhi
kebutuhan pribadi, tapi sebagai bukti bahwa mamanya berhasil mendidiknya hingga
ia punya uang sendiri. Uang itu hanya sebagi simbolis bahwa Pipit bahagia
karena mama bahagia bisa mendidiknya.
“Tik tik tik
bunyi hujan diatas genteng.”
Ringtone handphone Pipit bernyanyi riang di atas
genteng, eh salah, maksudnya di dalam tas Pipit. Gadis itu menggerayangi isi
tasnya dan menemukan hpnya yang sedang menunggunya menjawab panggilan. Bibirnya
menyunggingkan senyum mengetahui siapa yang meneleponnya.
“Halo,” sapanya
singkat.
“Beib, kamu dimana?” suara diseberang
sana jelas menanyakan posisi.
“Aku masih di
kantor nih, nungguin taksi.”
“Ngapain nunggu
taksi, nunggu aku aja yah,” pinta orang tersebut.
“Ini kan udah
malem Heru,” jawab Pipit menolak halus. Dia tidak mau kekasihnya, Heru
repot-repot menjemputnya kalau dia bisa naik taksi.
“Justru karena
ini udah malem, aku kan khawatir sama kamu,” paksa Heru.
Pipit pun
menghela nafasnya, “Ya udah, tapi jangan lama-lama. Aku nggak suka kalo nunggu
terlalu lama.”
“Iya tenang aja.
Tunggu aku datang.”
Sambungan
telepon terputus. Kini Pipit harus rela melepaskan berbagai rayuan dari tukang
ojek dan angkot-angkot bahkan taksi yang ditunggunya demi menunggu Heru datang.
Beruntung Heru datang sesuai janjinya, tanpa terlalu lama. Heru juga
mengantisipasi agar Pipit tak diculik supir-supir angkutan umum.
“Nggak lama
kan?” tanya Heru setelah mencopot helmnya.
“Nggak kok, yuk
pulang.
Pipit segera
membonceng Heru setelah dia menerima helm. Cukup kencang Heru membawa motornya
menembus jalanan. Pipit merasa nyaman saja karena dia yakin Heru tidak akan
membahayakannya. Dia tetap membonceng dengan tenang, menikmati perjalanan
menuju rumahnya.
Dua puluh menit
berlalu, mereka berdua sudah sampai di halaman rumah Pipit. Heru melirik jam
tangannya yang menunjukan pukul 20.30. Dia memandang Pipit yang baru saja
melepas helm.
“Aku langsung
pulang aja yah,” pamit Heru.
“Hati-hati yah,”
ucap Pipit mengantisipasi. Heru mengangguk mantap.
Setelah yakin
Heru sudah keluar dari areal rumahnya, Pipit langsung bergerak masuk. Dia
menyembulkan kepalanya sebelum seluruh tubuhnya masuk ke dalam rumah.
“Assalamualaikum,”
katanya mengucap salam.
“Waalaikum
salam,” jawab sebuah suara yang ternyata suara sang Papa.
Pipit masuk dan
bergerak menuju sang Papa yang sedang menonton berita di televisi.
“Papa belum
ngantuk?” tanyanya beringsut duduk di samping sang Papa.
“Belum, gimana
gaji pertama kamu? Puas?”
“Alhamdulillah
Pa, lumayan buat makan sama beli pulsa.”
Papanya tidak
merespon lagi karena masih asyik menyimak berita korupsi yang sedang hangat
dibicarakan.
“Mama dimana
Pa?”
“Di kamar.”
Pipit segera
meluncur untuk menemui mamanya. Diketuknya pintu pelan, tidak ada jawaban,
Pipit langsung membuka pintu kamar yang ternyata tidak dikunci. Badannya
perlahan memasuki kamar tempat mamanya berada.
“Ma,” panggilnya
cukup keras.
“Bentar,” jawab
mamanya yang sedang berada di kamar mandi dalam. Pipit menunggu dengan sabar
sampai mamanya keluar dari kamar mandi.
“Kamu udah
pulang Pit.”
Pipit menengok
ke arah mamanya, dia tersenyum lalu membuka tasnya dan mengeluarkan amplop
berisi sebagian gaji pertamanya.
“Ini …,” kata
Pipit terbata sambil menyerahkan amplop tersebut. mamanya hanya diam ditodong
seperti itu.
“Apa itu?”
“Ini buat mama,
Pipit tau mama nggak butuh uang tapi Pipit pengin mama terima gaji pertama
Pipit.”
Mamanya
tersenyum sambil memandangi amplop tersebut. Dia kembali memandang putri
satu-satunya, “Lebih baik kamu simpen gaji kamu untuk masa depan,” katanya
kemudian.
“Maksud mama?”
“Ya masa depan
kamu, menikah.”
Pipit langsung
membeku mendengar kata terakhir mamanya. Dia menunduk karena tahu bahwa mamanya
akan membicarakan hal yang tidak ingin dia dengar.
“Pacar kamu
itu…” mamanya menjeda kalimat tersebut, Pipit semakin menegang. “Kamu yakin dia
serius bakal nikahin kamu? Dia belum ada tanda-tanda melamar kamu sampe
sekarang.”
Hati Pipit
terperanjat, dia tahu mamanya mengungkapkan fakta, tapi Pipit juga punya
penilaian lain.
“Heru serius kok
Ma, cuman dia belum siap. Dia kan masih pengin berkarir supaya bener-bener
siap.”
“Tapi sampai
kapan nak? Kalian udah cukup lama pacaran. Kamu juga kan udah pengin nikah, apa
kamu nggak terlalu lama menunggu?”
“Pipit percaya
sama Heru.”
“Mama punya
kenalan yang punya anak cowo, dia …”
“Cukup Ma,”
potong Pipit segera. Dia sudah tahu kalau mamanya akan bicara tentang anak
teman mamanya yang sudah siap menikah bahkan siap menikahinya.
“Mama nggak mau
kamu di gantung terus, mama juga udah pengin liat kamu nikah dan bahagia. Heru
anak yang baik, tapi mama nggak suka dia biarin kamu nunggu sampe waktu yang
nggak pasti.”
Pipit terdiam.
Dia sadar mamanya benar. Sudah berulang kali dia minta ketegasan dari laki-laki
itu, tapi jawabannya selalu sama. Karir, karir dan karir. Sebenarnya Pipit
sudah muak, tapi dia juga tidak bisa apa-apa selain mempercayainya.
“Pipit istirahat
dulu,” katanya mengakhiri pembicaraan malam itu. Dia menaruh amplop tadi di
atas meja rias mamanya dan pergi ke kamarnya untuk beristirahat.
***
Heru melemparkan
kunci motornya di meja kerja. Setelah meletakkan helm dan membuka jaketnya, dia
langsung menghadap sang laptop tercinta untuk menyelesaikan proyek yang sedang
dia kerjakan. Dengan cepat dia mengetik berbagai program yang telah dia
rencanakan untuk di ajukan pada pihak stasiun televisi tempatnya bekerja.
Sedang asyik-asyiknya dia bekerja, handphonenya bergetar hebat tanda ada
telepon masuk.
“Kenapa Pit?”
tanyanya seketika dia menemukan Pipit yang menelepon.
“Aku mau ngomong
serius sama kamu.”
“Ada apa nih?”
Heru mengambil segelas air minum di depannya dan meminumnya.
“Kapan kita
nikah?”
Heru langsung
menyemburkan percikan air ke sembarang tempat. Rupanya pertanyaan tersebut
membuatnya nyaris serangan jantung.
“Ngomong apaan
sih kamu?”
“Aku serius Her,
hubungan kita udah berjalan lama. Kamu mau gantungin aku sampe kapan?” Pipit mulai
terdengar emosi.
“Tapi aku kan
masih mau ngembangin karir dulu, lagian aku nggak mau membuang masa muda aku
cuma buat anak dan istri.”
“Apa?” Heru tahu
pasti Pipit menyemburkan liurnya kemana-mana.
“Seenggaknya untuk
sekarang, tapi nanti aku bakal mikirin nikah kok.”
“Nanti sampe
kapan?”
“Ya pokoknya
nanti.”
“Percuma ngomong
sama kamu, nggak pernah ngerti perasaan aku.”
“Udah deh, aku
cape, jangan mancing pertengkarang dong.”
“Aku kan nggak
suka mancing. Aku lebih suka ke salon.”
“Terserah deh.”
Klik. Heru mengakhiri obrolan itu. Dia kembali memfokuskan diri pada
pekerjaannya. Entah sudah berapa jam dia duduk manis di depan laptop, tubuhnya
mulai lelah. Dia pun men shutdown
laptopnya dan merebahkan dirinya ke ranjang.
“Nikah,”
desisnya pelan. Dia menerawang langit-langit dan memikirkan satu kata itu. Dia
memang punya rencana menikah, tapi yang jelas, dia harus menerjang karirnya
lebih dulu. Heru ingin karirnya cetar membahana seheboh hurricane venus. Tidak mungkin dia rela ada penghambat bernama
pernikahan ditengah karirnya yang sedang dia genggam erat.
***
“Aku Rofi,” kata
pemuda itu memperkenalkan diri. Pipit melihatnya dari ujung kepala sampai ujung
kaki. Wajahnya bersih, tidak jelek juga, tidak ada yang lain juga. Garis
wajahnya terlihat tegas seperti laki-laki pada umumnya. Kulitnya coklat tapi
tidak gelap. Mungkin banyak gadis yang akan jatuh cinta padanya, tapi Pipit
belum menunjukan reaksi apa-apa.
“Halo?” Rofi
mendadahkan tanganya di depan Pipit yang sedang melamun. Seketika gadis itu
terhenyak dan langsung menyambut tangan Rofi yang sudah lama terabaikan.
“Pipit,” katanya
singkat.
“Aku udah denger
dari Om Yuli kalau kamu kerja di kantor Imigrasi.”
“Iya.”
“Seneng nggak
kerja disana?”
“Lumayan.”
Rofi
menghentikan pertanyaannya sejenak. Rasanya percuma saja dia agresif bertanya
sana sini sedangkan wajah Pipit yang dia lihat tidak menunjukan sikap
apresiatif. Lebih baik dia juga diam, menunggu Pipit mendapatkan mood untuk ngobrol dengannya.
“Kamu nggak
kerja?” setelah kurang lebih sepuluh menit terdiam, Pipit akhirnya membuka
mulut.
“Aku ijin nggak
masuk kerja hari ini.”
“Kenapa?”
“Aku udah janji
sama mama kamu kalo aku bisa ketemu dia hari ini. Akhinya, setelah beberapa
kali aku ijin, sekarang aku ketemu kamu.”
Jawaban Rofi
membuat Pipit membeku. Dia tidak menyangka Rofi berkali-kali ijin tidak kerja
demi bertemu dirinya. Memang tidak secara gamblang Rofi menjelaskan, tapi dia
tahu bahwa Rofi diminta mamanya untuk bertemu dengannya.
“Kamu nggak
takut dipecat gara-gara keseringan ijin?”
Rofi menggeleng,
“Nggak.”
“Kok gitu?”
“Karena aku
serius.”
“Serius buat
apa? Kamu nggak bilang kalo setuju dengan …”
“Perjodohan?”
Pipit
mengangguk. Dia tidak bisa melanjutkan kalimatnya karena dia tidak menginginkan
perjodohan yang diatur mamanya itu. Sejak awal, sebenarnya dia sudah tahu Rofi
dari cerita sang mama, tapi dia tidak pernah tertarik. Selain karena laki-laki
itu tidak pernah bertemu dengannya, statusnya juga masih menjadi kekasih orang
lain. Dia kembali memandang Rofi yang masih setia menunggu beberapa kata
meluncur dari bibirnya.
“Kamu kan nggak
kenal aku? Apa segampang itu kamu terima perjodohan ini?” Pipit jelas bingung
dengan sikap Rofi yang kelihatan mantap menerima perjodohan itu.
“Apa salahnya?
Mama kamu orang baik dan seharusnya anaknya juga baik.”
“Kamu kan belum
kenal aku seutuhnya?”
“Makanya aku
pengin kenal kamu, lebih jauh.”
Pipit tertegun
lagi. dia tidak pernah mendapatkan pengakuan semantap itu dari laki-laki
manapun, bahkan Heru yang sudah lama menjalin hubungan dengannya.
“Mungkin kita
bisa berteman dulu,” pinta Rofi tulus. Pipit memandang laki-laki itu sejenak,
memandangi senyumnya dan kemudian mengangguk tanpa arti.
***
Rapat tim
kreatif sudah selesai satu jam yang lalu. Heru sudah mempresentasikan proposal
yang dia tekuni beberapa minggu sebelumnya. Dia sangat ambisius dalam mencapai
tujuannya sebagai tim kreatif handal. Proposalnya tentang Celebradate- program kencan antar seleb- telah disetujui produser
pelaksana.
“Heru, saya mau
kenalkan kamu sama asisten kamu untuk proyek ini,” Heru mengangguk mantap
mendengar kalimat atasanya. Seorang gadis datang menghampiri Heru dan
atasannya, dia dan Heru berpandangan sejenak karena terkejut melihat orang yang
akan dikenalkannya.
“Heru?” gadis itu
bertanya kaget.
“Yasinta?” wajah
Heru bahkan lebih heboh.
“Kalian saling
kenal?” kali ini atasan heru yang bingung. Kemudian dia tersenyum, “Saya
tinggal kalian berdua, silahkan ngobrol dulu.” Orang itu pun berlalu.
Suasana canggung
sejenak karena Heru dan Yasinta sama-sama tidak tahu harus bicara apa. Mereka
adalah teman se-almamater dan tidak menyangka akan dipertemukan kembali sebagai
rekan kerja.
“Gimana kalo
kita ke café kantor aja. Ngobrol-ngobrol di sana,” tawar Heru diikuti anggukan
Yasinta. Gadis itu sendiri tidak tahu apa yang harus dia lakukan, dia hanya
menyetujui ajakan Heru.
Mereka
meembicarakan banyak hal di café. Heru mulai kagum dengan kepribadian Yasinta
yang tegas. Dia pikir gadis itu sudah menikah mengingat teman-teman seumurannya
yang lain bahkan ada yang sudah punya anak. Ternyata dia dan Yasinta punya
prinsip yang sama dalam membangun karir. Tidak mau setengah-setengah.
“Jadi, kapan
kamu nikah Her? Apa nggak kasian tuh pacar kamu nungguin?” tanya Yasinta
membuka obrolan.
“Nggak lah, dia
pengertian kok Yas. Kamu sendiri kenapa masih jomblo aja?”
“Belum ada yang
cocok aja.”
“Jangan terlalu
perfeksionis, ntar malah nggak dapet-dapet,” ledek Heru.
“Kayak kamu
nggak perfeksionis aja,” balas Yasinta. Mereka berdua tertawa menikmati
keakraban mereka yang sempat lama hilang sejak mereka lulus kuliah.
***
Pipit dan Rofi
sudah semakin akrab, mereka sering nyambung dan ngobrol sana-sini. Mereka
berdua merasa nyaman satu sama lain. Tapi bagaimanapun itu, hati Pipit tidak
semudah itu goyah. Dia masih berstatus pacar Heru, bukan yang lain. Tidak
peduli sebaik apa Rofi, Heru masih setia menempati hatinya.
“Aku bakal
nungguin kamu Pit,” kata Rofi lirih. Pipit bisa mendengarnya dengan jelas, tapi
dia pura-pura tidak dengar. Dia hanya mengaduk-aduk jusnya yang sudah tidak
dingin.
“Kalo gitu aku
ke kantor dulu,” pamit Rofi diikuti anggukan pipit. Dia hanya mengantar Rofi
dengan mendadahkan tangannya.
Sejenak setelah
Rofi pergi, handphone Pipit berbunyi.
Gadis itu kembali menggeragapi isi tasnya dan segera menekan tombol hijau
ketika menemukan nama Heru disana.
“Hai, tumben jam
segini telepon, udah nggak sibuk?” tanya Pipit to the point sambil memperhatikan jam tangannya yang menunjukan
pukul 16.30.
“Aku ada kabar
gembira Pit,” kata Heru diseberang sana dengan nada antusias.
“Apa?” respon
pipit tak kalah antusias.
“Aku bakal kerja
di Singapore selama tiga sampai empat tahun. Perusahaan TVQ mau buka cabang
disana dan aku jadi ……”
Pipit menjauhkan
handphone dari telinganya. Dia merasa
marah sekaligus sedih mendengar Heru sangat antusias dengan pekerjaannya itu.
“Kok kamu diem
sih?” Heru merasa diabaikan.
“Lalu kapan kita
nikah? Kamu nggak nyuruh aku nunggu selama itu kan?”
“Aku baru dapet
kabar bahagia gini, kenapa kamu malah melebar ke topik lain sih? Nggak nyambung
tau nggak.”
“Aku cuman minta
ketegasan kamu Heru.”
“Tapi ini
kesempatan buat karir aku, masa kamu nggak ngerti?”
“Aku udah
disuruh nikah sama mama, kamu masih nggak peka juga.”
“Kamu selalu
gitu yah, aku kerja juga buat masa depan kita juga. Kamu egois.”
Pipit seperti
meledak mendengar kata-kata itu. Dia merasa tidak terima dibilang egois. Justru
dia selama ini sangat pengertian dan setia menunggu dan mendukung setiap
jengkal karir yang Heru raih.
“Terserah kamu,
pokoknya jangan sampe kamu nyesel kalo aku terima lamaran cowok lain,” ancam
Pipit tegas. Heru pun terhenyak.
“Ya udah, kalo
gitu jadi makin gampang, aku jadi nggak ada beban.”
“Jadi selama ini
aku cuman beban?”
“Udah deh, nggak
usah ngajak berantem. Aku udah cape ngurusin kamu.”
Heru secara
sepihak mengakhiri pembicarannya. Pipit menggenggam erat handphone di tanganya. Dia geram, sangat geram kemudian tangis
tumpah membasahi matanya.
***
Sudah beberapa
hari Pipit dan Heru tidak saling menelepon. Pipit semakin gelisah dengan
ketidakpastian Heru akan hubungan mereka. Dia wanita, dia sangat memikirkan
pernikahan karena banyak faktor, terutama usianya. Memang banyak diluar sana
wanita yang menunda menikah demi karir mereka, tapi tidak bagi Pipit. Dia ingin
menikah dan segera berkeluarga.
Tok tok tok.
Suara ketukan
pintu membangunkan Pipit yang sedang tiduran dikamarnya. Dia langsung turun
dari ranjang dan membuka pintu. Mamanya ada di depannya dan berkata, “Ada Rofi
di depan.” Sang mama juga tersenyum. Pipit mengangguk lalu masuk lagi ke
kamarnya untuk memperbaiki penampilan.
Di ruang tamu,
Rofi sedang duduk manis sambil menopang kaki. Wajahnya yang seimut voldemort
tampak pas dengan setelan jas bak eksekutif muda. Pipit berjalan pelan
menghampiri Rofi yang langsung berdiri begitu matanya mendapati gadis itu.
“Gimana
kabarnya?” tanya Rofi berbasa-basi.
“Alhamdulillah
baik,” jawab Pipit singkat sambil duduk di sofa. Rofi juga melakukan hal yang
sama.
“Aku kesini mau
ngomong sesuatu yang penting sama kamu,” ujar Rofi mantap.
Pipit
menengadahkan wajahnya melihat Rofi. Raut wajahnya penuh tanya, “Apa?”
“Mungkin ini
agak mengejutkan, tapi aku rasa aku mau serius sama kamu.”
Petir hampir
datang ke dalam hati Pipit yang sedang galau. Dia tidak bisa bicara.
“Aku pengin
melamar kamu, mau nggak kamu hidup sama aku?”
Lagi-lagi Pipit tidak
menjawab. Dia memang ingin menikah, tapi dengan Rofi? Entahlah. Rofi memang
cocok dengannya, tapi Pipit juga wanita yang masih punya otak dengan tidak
menerima lamaran begitu saja sedang dia masih jadi kekasih orang, terlepas
mereka sedang ada masalah. Tidak mungkin dia meninggalkan Heru begitu saja
hanya karena alasan cinta yang tumbuh belakangan. Di tangannya tergenggam
handphonenya sendiri.
“Sebentar,” ucap
Pipit pamit lalu pergi ke dapur meninggalkan Rofi. Di dapur yang sepi itu,
Pipit menelepon Heru, tapi tidak dijawab. Dia sudah mencoba berulang kali,
hasilnya sama. akhirnya Pipit mengetik beberapa kalimat dan dia kirimkan via
sms pada Heru.
“Kasih tau kapan kamu mau ngelamar aku,
dengan begitu aku akan menunggu. Tapi jangan nyesel kalo kita nggak bisa
ngelanjutin hubungan ini kalo kamu nggak ngejawab pertanyaanku ini.”
Sepuluh menit,
dua puluh menit, tiga puluh menit, tiga puluh lima menit. Pesan yang dia
kirimkan baru mendapat jawaban. Dengan terburu-buru, Pipit membuka inboxnya,
dia membaca sekilas lalu tersenyum. Dia pun sudah tahu langkah apa yang akan
dia ambil dengan membaca sms Heru.
“Kamu harus tunggu aku, pasti aku akan
melamarmu.”
***
Matahari sudah
tenggelam beberapa jam yang lalu. Beberapa pekerja sudah kembali ke rumah
mereka untuk berkumpul kembali dengan keluarga. Tidak dengan Heru, dia masih
setia berhadapan dengan komputer kantor menyelesaikan semua laporan yang di
tugaskan atasannya. Fokusnya dia bagi dua, antara pekerjaannya yang semakin
sibuk dan Pipit yang sudah beberapa hari tidak meneleponnya. Mungkin gadis itu
masih marah. Heru mengecap pahit dan mengambil handphonenya untuk menelepon
Pipit.
Cukup lama
sambungannya menggantung di udara sampai sebuah suara menjawab telepon
tersebut.
“Halo?”
Heru
terperanjat, suara laki-laki. Dia merinding jangan-jangan selama ini Pipit
adalah laki-laki dan dia memacari … ah tidak. Heru tetap berpikiran positif dan
melanjutkan pembicaraan.
“Pipitnya mana?”
Heru bertanya tenang meskipun ada rasa khawatir pikirannya merupakan jawaban
yang benar.
“Dia lagi pergi
nyebar undangan ke temen-temennya. Handphonenya dia tinggal.”
Kerutan muncul
di dahi Heru, “Undangan apa?”
“Pernikahan.”
Kembali Heru
merasa tersetrum, apakah Pipit nekat menentukan pernikahan mereka sepihak?
“Sama siapa?”
“Saya, calon
suaminya.”
Wajah Heru sudah
sangat kasihan mendengar hal itu. Bagaimana bisa Pipit tega menjatuhkan pilihan
pada laki-laki lain sedang dia sedang susah payah bekerja untuknya? Tidak
bisakah dia menunggu. Handphone di
tangannya hampir saja meluncur ke lantai kalau saja Heru tidak menangkapnya
dengan sigap. Akhirnya dari pada handphonenya terjatuh, dia menjatuhkan dirinya
sendiri pada kursi depan meja kerjanya. Kasian, handphone mahal.
“God, how could
this happen to me,” dengan nada terisak, Heru mencoba tegar. Dia mencoba lalu
mencoba lagi, tapi tidak bisa. Ada rasa menyesal dan tidak terima di hatinya.
Pipit sudah tidak bisa dia raih.
“How could this
happen to me,” katanya sekali lagi. Lalu dia bersedih lagi, menunduk dan lupa
laporannya belum dia selesaikan.
“Permisi.”
Heru
menengadahkan wajahnya mendengar suara tersebut. Dia menengok ke arah pintu dan
menemukan Pipit disana. Sontak dia berdiri dan berjalan mendekati Pipit yang
berdiri tegap layaknya seorang anak polisi.
“Pipit,” panggil
Heru pelan.
“Aku cuman mau
kasih ini,” Pipit memberikan sebuah undangan pada Heru. Dia harus sabar
menunggu Heru menerima undangan itu.
“Kenapa Pit?
Kamu bahkan belum bilang putus.”
“Sekalian aku
juga mau bilang putus. Aku rasa aku nggak akan sanggup untuk nungguin kamu yang
nggak jelas.”
“Tapi aku juga
serius sama kamu.”
“Kamu egois,
kamu nggak mikir aku maunya gimana.”
“Kamu yang
egois, nggak mau nungguin aku padahal aku kerja juga salah satunya buat kamu.
Harusnya kamu ngerti.”
Pipit menahan
nafasnya sebentar lalu dia hembuskan dengan pelan, “Maka dari itu lebih baik
kita putus daripada kita cekcok kayak gini. Kamu fokus aja sama karir kamu dan
aku…”
“…”
“Aku akan
ngurusin hidupku sendiri.”
“…”
“Dan aku harap
kamu dateng ke pernikahanku.”
Heru terdiam.
Dia bahkan tidak bisa melakukan apa-apa ketika Pipit meletakan undangan di
tangannya lalu pergi dari balik pintu. Dia kembali terduduk, melihat undangan
ditangannya dan berpikir apakah dia akan datang atau tidak. Keputusan yang
sulit.
***
Makanan sudah
tersaji di meja makan. Tidak seperti biasanya, Heru tidak menyentuh makanannya
sedikitpun. Bahkan dia tidak bernafsu melihat kecoa asam manis kesukaannya.
Pikirannya jelas tertuju pada pernikahan Pipit. Seperti apa nanti kalau gadis
itu berdandan, seperti apa pestanya, makanan apa saja yang akan terhidang,
apakah capcay ganja rica-rica dan semut goreng gula-gula, lalu bagaimana rupa
calon suaminya karena di undangan tersebut tidak ada foto pre wedding.
“Aku galau nih,”
serunya tidak santai.
“Kalian mungkin
emang lebih baik pisah.”
Heru celingukan
dan mendapati Yasinta bergerak ke arahnya. Yasinta mengambil kursi dan
disejajarkannya dengan Heru. Dia ikut bersedih mendapati Heru yang sedang
runyam.
“Aku rasa,
mending kamu lepasin dia aja daripada nungguin kamu yang nggak jelas.”
“Tapi aku masih
cinta sama dia Yas.”
“Udahlah, kamu
harus move on. Pipit itu cewek yang
punya prinsip dan kamu juga harus hargai prinsipnya dia.”
“Tapi apa dia
nggak bisa ngerhargain prinsip aku?”
Yasinta
mengangkat bahu, “Sekarang pikirin baik-baik. Cewek udah niat mau nikah dan ada
laki-laki yang berniat baik menikahinya, lalu apakan Pipit harus memikirkan
laki-laki lain yang bahkan nggak pernah kasih keputusan yang jelas?”
“Tapi…”
“Menunggu untuk
menikah nggak kayak menunggu naik bis, lebih sakit, lebih ngerepotin. Kan kamu
juga punya prinsip nggak mau ngerepotin orang.”
“Iya juga sih,
tapi kan…”
“Kamu pikirin
aja dulu, yang jelas aku akan datang di pernikahan dia. Aku juga di undang.
Terserah kamu mau datang apa nggak.”
“Tapi apa Pipit
nggak bisa kayak kamu? Yang mau ngembangin karir dulu.”
“Semua orang
punya pilihan masing-masing. Pilihan Pipit sama aku jelas beda.”
Yasinta pergi
meninggalkan Heru yang masih galau. Dia tidak mau mendengar curhatan lagi
karena pasti ujung-ujungnya Heru akan meledak. Heru sendiri termenung
memikirkan perkataan Yasinta. Sekali lagi dia melihat undangan pernikahan itu.
“Rofi,” ucapnya
lirih.
***
Berbagai ornamen
menghiasi dinding-dinding rumah. Jajanan dan minuman ringan berjejer rapi dan
menggoda dalam wadah yang dialasi daun pisang. Pelaminan nampak indah dengan
hiasan bunga disekelilingnya. Pipit duduk disana. Riasan wajahnya masih melekat
rapi juga elegan tapi tidak terkesan menor. Kebaya putih membalut tubuh
kurusnya dengan pas. Dia melihat sekitar, kepada tamu undangan yang sedang
menikmati kudapan ringan dan ada juga yang sedang mengobrol dengan orang
tuanya. Dia alihkan matanya ke samping kanan, mendapati sosok pria ber jas
hitam yang juga langsung membalas tatapan Pipit dan tersenyum ke arahnya.
Keduanya saling lempar senyum.
Dialah Rofi,
laki-laki yang beberapa jam lalu sudah mengikat sumpah untuknya. Pipit sudah
memutuskan untuk hidup dengannya. Semoga dia memang benar tulang rusuknya.
Pandanganya kembali pada tamu undangan. Dia sedikit terkejut mendapati seorang
pria yang berdiri menjulang dengan sepatu pantofel. Laki-laki itu bergerak ke
arahnya, seketika Pipit berdiri. Dia dan laki-laki itu pun berdiri berhadapan.
“Selamat,” kata
laki-laki itu sambil mengulurkan tangan. Dengan pelan, Pipit menerima uluran
tangan tersebut.
“Heru kamu…”
“Iya aku
dateng,” potong Heru, laki-laki tersebut.
“Makasih,” ucap
Pipit akhirnya sambil mengulum senyum.
Heru berpindah
untuk berhadapan dengan Rofi.
“Selamat ya,
Rofi,” ucap Heru mantap. Rofi hanya membalas ucapan selamat itu dengan
senyuman. Tidak tahu juga harus membalas apa.
Setelah
memandang Pipit dan Rofi bergantian, Heru segera berbalik dari pelaminan.
Airmatanya dia seka agar tidak muncul. Dia berjalan menuju pintu keluar arena
pernikahan dan mendapati Yasinta disana. Gadis itu mengangguk dan tersenyum,
menunjukan bahwa Heru sudah melakukan hal yang benar. Dia pun mengajak Yasinta
keluar bersama.
Sementara itu di
pelaminan, Pipit mengusap tissue pada
kelopak matanya. Orang-orang akan mengira bahwa Pipit sedang merapikan riasan
bukan menahan air matanya. Ya, Pipit hampir menangis melihat Heru datang. Dia
juga sedih melihat Heru yang dia putuskan sepihak. Tapi, Pipit yakin dia tidak
akan menyesal. Dia dan Heru punya prinsip yang berbeda. Lebih baik untuk
keduanya jika tidak bersama-sama. Mereka memang harus terpisah.
===========================End==========================
So sweeet... :)
BalasHapusAku suka sama ceritanya,, makasih banget...
Ak harap endingnya bkal ky gini..
cuma protes satu hal, kenapa mesti heruuuuuuuuu????? >_<
Mang lu mau pas nikah sama Rofi masih aja mikirin gua, haha...
HapusBtw, masa aku dibiarin gantung gitu ya??
@Pipit: masa iya mau sama mas #@$%sensor
Hapus@Heru: biar kau temukan jalanmu sendiri nak... yes!
Coba di cerita itu lu bersatu sama Yasinta ya her.. :)
HapusMungkin cerita lain episode, kalo reader masih setia menanti. hehehe
HapusOh Em Ji!! Apa-apaan ini??
BalasHapusAku bahkan tidak bisa mengenali diriku sendiri #ciri khas dialog drama Korea.
Berharap karirku akan seperti itu. Perihal dijodohkan nggak masalah deh.
Kerja di perusahaan TV gitu? Carier must come first
Hapus