Rabu, 26 Desember 2012

Cerpen lagi

Setelah mendapatkan serangkain ehm kritikan dan masukan dari teman-teman reader setia gue, akhirnya gue memutuskan untuk membuat cerpen dengan cerita yang lebih wajar. Gue masih konsisten dengan nama-nama temen-temen gue karena yah gue suka aja gitu. (Sebenernya males nyari nama lain). OK fix, cerita ini fiksi belaka dan jangan berfikir yang nggak-nggak.
Cekidot:
Poster Harus Terpisah

HARUS TERPISAH

Starring: Heru Pramono, Pipit S Mularsih, Muhammad Ridlo Nur Ar Rofi, Yasinta Wulandari
OST: Harus Terpisah – Cakra Khan
Produser: Ann Zamzami
Editor: Ann Zamzami lagi
Script writer: Ann Zamzami juga
Director: Lagi-lagi Ann Zamzami
==========================================================

Bulan sabit tersenyum ramah menyambut awal bulan. Bahkan senyumnya bisa diibaratkan senyum seseorang yang menerima gaji di awal bulan juga. Pipit, gadis yang tidak punya lesung pipit itu juga tersenyum memandangi bulan sabit yang menerima gaji awal bulan. Dia sedang bahagia karena mendapat gaji pertamanya di awal bulan.
“Mau diapain yah uangnya?” pikirnya berat. Yah memang sangat berat mengingat banyak sekali rencana yang ingin dia jalankan. Tapi dia sendiri hanya punya sedikit uang dari gaji awal bulannya. Rasanya bingung menentukan rencana yang mana yang dia pilih dulu, semua rencana sama pentingnya.
“Mungkin kasih mama dulu aja deh,” katanya bersemangat. Dia hanya berpikir hal itu yang paling tepat meskipun dia tahu bahwa mamanya tidak pernah mengharapkan sepeser pun uang darinya. Pipit juga sadar bahwa dia tidak akan bisa membayar mamanya dengan gaji awal bulan itu, bahkan gaji-gaji lain yang akan dia terima. Tapi Pipit yakin, mamanya akan bahagia menerima uang darinya, bukan untuk memenuhi kebutuhan pribadi, tapi sebagai bukti bahwa mamanya berhasil mendidiknya hingga ia punya uang sendiri. Uang itu hanya sebagi simbolis bahwa Pipit bahagia karena mama bahagia bisa mendidiknya.
“Tik tik tik bunyi hujan diatas genteng.”
Ringtone handphone Pipit bernyanyi riang di atas genteng, eh salah, maksudnya di dalam tas Pipit. Gadis itu menggerayangi isi tasnya dan menemukan hpnya yang sedang menunggunya menjawab panggilan. Bibirnya menyunggingkan senyum mengetahui siapa yang meneleponnya.
“Halo,” sapanya singkat.
Beib, kamu dimana?” suara diseberang sana jelas menanyakan posisi.
“Aku masih di kantor nih, nungguin taksi.”
“Ngapain nunggu taksi, nunggu aku aja yah,” pinta orang tersebut.
“Ini kan udah malem Heru,” jawab Pipit menolak halus. Dia tidak mau kekasihnya, Heru repot-repot menjemputnya kalau dia bisa naik taksi.
“Justru karena ini udah malem, aku kan khawatir sama kamu,” paksa Heru.
Pipit pun menghela nafasnya, “Ya udah, tapi jangan lama-lama. Aku nggak suka kalo nunggu terlalu lama.”
“Iya tenang aja. Tunggu aku datang.”
Sambungan telepon terputus. Kini Pipit harus rela melepaskan berbagai rayuan dari tukang ojek dan angkot-angkot bahkan taksi yang ditunggunya demi menunggu Heru datang. Beruntung Heru datang sesuai janjinya, tanpa terlalu lama. Heru juga mengantisipasi agar Pipit tak diculik supir-supir angkutan umum.
“Nggak lama kan?” tanya Heru setelah mencopot helmnya.
“Nggak kok, yuk pulang.
Pipit segera membonceng Heru setelah dia menerima helm. Cukup kencang Heru membawa motornya menembus jalanan. Pipit merasa nyaman saja karena dia yakin Heru tidak akan membahayakannya. Dia tetap membonceng dengan tenang, menikmati perjalanan menuju rumahnya.
Dua puluh menit berlalu, mereka berdua sudah sampai di halaman rumah Pipit. Heru melirik jam tangannya yang menunjukan pukul 20.30. Dia memandang Pipit yang baru saja melepas helm.
“Aku langsung pulang aja yah,” pamit Heru.
“Hati-hati yah,” ucap Pipit mengantisipasi. Heru mengangguk mantap.
Setelah yakin Heru sudah keluar dari areal rumahnya, Pipit langsung bergerak masuk. Dia menyembulkan kepalanya sebelum seluruh tubuhnya masuk ke dalam rumah.
“Assalamualaikum,” katanya mengucap salam.
“Waalaikum salam,” jawab sebuah suara yang ternyata suara sang Papa.
Pipit masuk dan bergerak menuju sang Papa yang sedang menonton berita di televisi.
“Papa belum ngantuk?” tanyanya beringsut duduk di samping sang Papa.
“Belum, gimana gaji pertama kamu? Puas?”
“Alhamdulillah Pa, lumayan buat makan sama beli pulsa.”
Papanya tidak merespon lagi karena masih asyik menyimak berita korupsi yang sedang hangat dibicarakan.
“Mama dimana Pa?”
“Di kamar.”
Pipit segera meluncur untuk menemui mamanya. Diketuknya pintu pelan, tidak ada jawaban, Pipit langsung membuka pintu kamar yang ternyata tidak dikunci. Badannya perlahan memasuki kamar tempat mamanya berada.
“Ma,” panggilnya cukup keras.
“Bentar,” jawab mamanya yang sedang berada di kamar mandi dalam. Pipit menunggu dengan sabar sampai mamanya keluar dari kamar mandi.
“Kamu udah pulang Pit.”
Pipit menengok ke arah mamanya, dia tersenyum lalu membuka tasnya dan mengeluarkan amplop berisi sebagian gaji pertamanya.
“Ini …,” kata Pipit terbata sambil menyerahkan amplop tersebut. mamanya hanya diam ditodong seperti itu.
“Apa itu?”
“Ini buat mama, Pipit tau mama nggak butuh uang tapi Pipit pengin mama terima gaji pertama Pipit.”
Mamanya tersenyum sambil memandangi amplop tersebut. Dia kembali memandang putri satu-satunya, “Lebih baik kamu simpen gaji kamu untuk masa depan,” katanya kemudian.
“Maksud mama?”
“Ya masa depan kamu, menikah.”
Pipit langsung membeku mendengar kata terakhir mamanya. Dia menunduk karena tahu bahwa mamanya akan membicarakan hal yang tidak ingin dia dengar.
“Pacar kamu itu…” mamanya menjeda kalimat tersebut, Pipit semakin menegang. “Kamu yakin dia serius bakal nikahin kamu? Dia belum ada tanda-tanda melamar kamu sampe sekarang.”
Hati Pipit terperanjat, dia tahu mamanya mengungkapkan fakta, tapi Pipit juga punya penilaian lain.
“Heru serius kok Ma, cuman dia belum siap. Dia kan masih pengin berkarir supaya bener-bener siap.”
“Tapi sampai kapan nak? Kalian udah cukup lama pacaran. Kamu juga kan udah pengin nikah, apa kamu nggak terlalu lama menunggu?”
“Pipit percaya sama Heru.”
“Mama punya kenalan yang punya anak cowo, dia …”
“Cukup Ma,” potong Pipit segera. Dia sudah tahu kalau mamanya akan bicara tentang anak teman mamanya yang sudah siap menikah bahkan siap menikahinya.
“Mama nggak mau kamu di gantung terus, mama juga udah pengin liat kamu nikah dan bahagia. Heru anak yang baik, tapi mama nggak suka dia biarin kamu nunggu sampe waktu yang nggak pasti.”
Pipit terdiam. Dia sadar mamanya benar. Sudah berulang kali dia minta ketegasan dari laki-laki itu, tapi jawabannya selalu sama. Karir, karir dan karir. Sebenarnya Pipit sudah muak, tapi dia juga tidak bisa apa-apa selain mempercayainya.
“Pipit istirahat dulu,” katanya mengakhiri pembicaraan malam itu. Dia menaruh amplop tadi di atas meja rias mamanya dan pergi ke kamarnya untuk beristirahat.

***
Heru melemparkan kunci motornya di meja kerja. Setelah meletakkan helm dan membuka jaketnya, dia langsung menghadap sang laptop tercinta untuk menyelesaikan proyek yang sedang dia kerjakan. Dengan cepat dia mengetik berbagai program yang telah dia rencanakan untuk di ajukan pada pihak stasiun televisi tempatnya bekerja. Sedang asyik-asyiknya dia bekerja, handphonenya bergetar hebat tanda ada telepon masuk.
“Kenapa Pit?” tanyanya seketika dia menemukan Pipit yang menelepon.
“Aku mau ngomong serius sama kamu.”
“Ada apa nih?” Heru mengambil segelas air minum di depannya dan meminumnya.
“Kapan kita nikah?”
Heru langsung menyemburkan percikan air ke sembarang tempat. Rupanya pertanyaan tersebut membuatnya nyaris serangan jantung.
“Ngomong apaan sih kamu?”
“Aku serius Her, hubungan kita udah berjalan lama. Kamu mau gantungin aku sampe kapan?” Pipit mulai terdengar emosi.
“Tapi aku kan masih mau ngembangin karir dulu, lagian aku nggak mau membuang masa muda aku cuma buat anak dan istri.”
“Apa?” Heru tahu pasti Pipit menyemburkan liurnya kemana-mana.
“Seenggaknya untuk sekarang, tapi nanti aku bakal mikirin nikah kok.”
“Nanti sampe kapan?”
“Ya pokoknya nanti.”
“Percuma ngomong sama kamu, nggak pernah ngerti perasaan aku.”
“Udah deh, aku cape, jangan mancing pertengkarang dong.”
“Aku kan nggak suka mancing. Aku lebih suka ke salon.”
“Terserah deh.” Klik. Heru mengakhiri obrolan itu. Dia kembali memfokuskan diri pada pekerjaannya. Entah sudah berapa jam dia duduk manis di depan laptop, tubuhnya mulai lelah. Dia pun men shutdown laptopnya dan merebahkan dirinya ke ranjang.
“Nikah,” desisnya pelan. Dia menerawang langit-langit dan memikirkan satu kata itu. Dia memang punya rencana menikah, tapi yang jelas, dia harus menerjang karirnya lebih dulu. Heru ingin karirnya cetar membahana seheboh hurricane venus. Tidak mungkin dia rela ada penghambat bernama pernikahan ditengah karirnya yang sedang dia genggam erat.

***
“Aku Rofi,” kata pemuda itu memperkenalkan diri. Pipit melihatnya dari ujung kepala sampai ujung kaki. Wajahnya bersih, tidak jelek juga, tidak ada yang lain juga. Garis wajahnya terlihat tegas seperti laki-laki pada umumnya. Kulitnya coklat tapi tidak gelap. Mungkin banyak gadis yang akan jatuh cinta padanya, tapi Pipit belum menunjukan reaksi apa-apa.
“Halo?” Rofi mendadahkan tanganya di depan Pipit yang sedang melamun. Seketika gadis itu terhenyak dan langsung menyambut tangan Rofi yang sudah lama terabaikan.
“Pipit,” katanya singkat.
“Aku udah denger dari Om Yuli kalau kamu kerja di kantor Imigrasi.”
“Iya.”
“Seneng nggak kerja disana?”
“Lumayan.”
Rofi menghentikan pertanyaannya sejenak. Rasanya percuma saja dia agresif bertanya sana sini sedangkan wajah Pipit yang dia lihat tidak menunjukan sikap apresiatif. Lebih baik dia juga diam, menunggu Pipit mendapatkan mood untuk ngobrol dengannya.
“Kamu nggak kerja?” setelah kurang lebih sepuluh menit terdiam, Pipit akhirnya membuka mulut.
“Aku ijin nggak masuk kerja hari ini.”
“Kenapa?”
“Aku udah janji sama mama kamu kalo aku bisa ketemu dia hari ini. Akhinya, setelah beberapa kali aku ijin, sekarang aku ketemu kamu.”
Jawaban Rofi membuat Pipit membeku. Dia tidak menyangka Rofi berkali-kali ijin tidak kerja demi bertemu dirinya. Memang tidak secara gamblang Rofi menjelaskan, tapi dia tahu bahwa Rofi diminta mamanya untuk bertemu dengannya.
“Kamu nggak takut dipecat gara-gara keseringan ijin?”
Rofi menggeleng, “Nggak.”
“Kok gitu?”
“Karena aku serius.”
“Serius buat apa? Kamu nggak bilang kalo setuju dengan …”
“Perjodohan?”
Pipit mengangguk. Dia tidak bisa melanjutkan kalimatnya karena dia tidak menginginkan perjodohan yang diatur mamanya itu. Sejak awal, sebenarnya dia sudah tahu Rofi dari cerita sang mama, tapi dia tidak pernah tertarik. Selain karena laki-laki itu tidak pernah bertemu dengannya, statusnya juga masih menjadi kekasih orang lain. Dia kembali memandang Rofi yang masih setia menunggu beberapa kata meluncur dari bibirnya.
“Kamu kan nggak kenal aku? Apa segampang itu kamu terima perjodohan ini?” Pipit jelas bingung dengan sikap Rofi yang kelihatan mantap menerima perjodohan itu.
“Apa salahnya? Mama kamu orang baik dan seharusnya anaknya juga baik.”
“Kamu kan belum kenal aku seutuhnya?”
“Makanya aku pengin kenal kamu, lebih jauh.”
Pipit tertegun lagi. dia tidak pernah mendapatkan pengakuan semantap itu dari laki-laki manapun, bahkan Heru yang sudah lama menjalin hubungan dengannya.
“Mungkin kita bisa berteman dulu,” pinta Rofi tulus. Pipit memandang laki-laki itu sejenak, memandangi senyumnya dan kemudian mengangguk tanpa arti.

***
Rapat tim kreatif sudah selesai satu jam yang lalu. Heru sudah mempresentasikan proposal yang dia tekuni beberapa minggu sebelumnya. Dia sangat ambisius dalam mencapai tujuannya sebagai tim kreatif handal. Proposalnya tentang Celebradate- program kencan antar seleb- telah disetujui produser pelaksana.
“Heru, saya mau kenalkan kamu sama asisten kamu untuk proyek ini,” Heru mengangguk mantap mendengar kalimat atasanya. Seorang gadis datang menghampiri Heru dan atasannya, dia dan Heru berpandangan sejenak karena terkejut melihat orang yang akan dikenalkannya.
“Heru?” gadis itu bertanya kaget.
“Yasinta?” wajah Heru bahkan lebih heboh.
“Kalian saling kenal?” kali ini atasan heru yang bingung. Kemudian dia tersenyum, “Saya tinggal kalian berdua, silahkan ngobrol dulu.” Orang itu pun berlalu.
Suasana canggung sejenak karena Heru dan Yasinta sama-sama tidak tahu harus bicara apa. Mereka adalah teman se-almamater dan tidak menyangka akan dipertemukan kembali sebagai rekan kerja.
“Gimana kalo kita ke café kantor aja. Ngobrol-ngobrol di sana,” tawar Heru diikuti anggukan Yasinta. Gadis itu sendiri tidak tahu apa yang harus dia lakukan, dia hanya menyetujui ajakan Heru.
Mereka meembicarakan banyak hal di café. Heru mulai kagum dengan kepribadian Yasinta yang tegas. Dia pikir gadis itu sudah menikah mengingat teman-teman seumurannya yang lain bahkan ada yang sudah punya anak. Ternyata dia dan Yasinta punya prinsip yang sama dalam membangun karir. Tidak mau setengah-setengah.
“Jadi, kapan kamu nikah Her? Apa nggak kasian tuh pacar kamu nungguin?” tanya Yasinta membuka obrolan.
“Nggak lah, dia pengertian kok Yas. Kamu sendiri kenapa masih jomblo aja?”
“Belum ada yang cocok aja.”
“Jangan terlalu perfeksionis, ntar malah nggak dapet-dapet,” ledek Heru.
“Kayak kamu nggak perfeksionis aja,” balas Yasinta. Mereka berdua tertawa menikmati keakraban mereka yang sempat lama hilang sejak mereka lulus kuliah.

***
Pipit dan Rofi sudah semakin akrab, mereka sering nyambung dan ngobrol sana-sini. Mereka berdua merasa nyaman satu sama lain. Tapi bagaimanapun itu, hati Pipit tidak semudah itu goyah. Dia masih berstatus pacar Heru, bukan yang lain. Tidak peduli sebaik apa Rofi, Heru masih setia menempati hatinya.
“Aku bakal nungguin kamu Pit,” kata Rofi lirih. Pipit bisa mendengarnya dengan jelas, tapi dia pura-pura tidak dengar. Dia hanya mengaduk-aduk jusnya yang sudah tidak dingin.
“Kalo gitu aku ke kantor dulu,” pamit Rofi diikuti anggukan pipit. Dia hanya mengantar Rofi dengan mendadahkan tangannya.
Sejenak setelah Rofi pergi, handphone Pipit berbunyi. Gadis itu kembali menggeragapi isi tasnya dan segera menekan tombol hijau ketika menemukan nama Heru disana.
“Hai, tumben jam segini telepon, udah nggak sibuk?” tanya Pipit to the point sambil memperhatikan jam tangannya yang menunjukan pukul 16.30.
“Aku ada kabar gembira Pit,” kata Heru diseberang sana dengan nada antusias.
“Apa?” respon pipit tak kalah antusias.
“Aku bakal kerja di Singapore selama tiga sampai empat tahun. Perusahaan TVQ mau buka cabang disana dan aku jadi ……”
Pipit menjauhkan handphone dari telinganya. Dia merasa marah sekaligus sedih mendengar Heru sangat antusias dengan pekerjaannya itu.
“Kok kamu diem sih?” Heru merasa diabaikan.
“Lalu kapan kita nikah? Kamu nggak nyuruh aku nunggu selama itu kan?”
“Aku baru dapet kabar bahagia gini, kenapa kamu malah melebar ke topik lain sih? Nggak nyambung tau nggak.”
“Aku cuman minta ketegasan kamu Heru.”
“Tapi ini kesempatan buat karir aku, masa kamu nggak ngerti?”
“Aku udah disuruh nikah sama mama, kamu masih nggak peka juga.”
“Kamu selalu gitu yah, aku kerja juga buat masa depan kita juga. Kamu egois.”
Pipit seperti meledak mendengar kata-kata itu. Dia merasa tidak terima dibilang egois. Justru dia selama ini sangat pengertian dan setia menunggu dan mendukung setiap jengkal karir yang Heru raih.
“Terserah kamu, pokoknya jangan sampe kamu nyesel kalo aku terima lamaran cowok lain,” ancam Pipit tegas. Heru pun terhenyak.
“Ya udah, kalo gitu jadi makin gampang, aku jadi nggak ada beban.”
“Jadi selama ini aku cuman beban?”
“Udah deh, nggak usah ngajak berantem. Aku udah cape ngurusin kamu.”
Heru secara sepihak mengakhiri pembicarannya. Pipit menggenggam erat handphone di tanganya. Dia geram, sangat geram kemudian tangis tumpah membasahi matanya.

***
Sudah beberapa hari Pipit dan Heru tidak saling menelepon. Pipit semakin gelisah dengan ketidakpastian Heru akan hubungan mereka. Dia wanita, dia sangat memikirkan pernikahan karena banyak faktor, terutama usianya. Memang banyak diluar sana wanita yang menunda menikah demi karir mereka, tapi tidak bagi Pipit. Dia ingin menikah dan segera berkeluarga.
Tok tok tok.
Suara ketukan pintu membangunkan Pipit yang sedang tiduran dikamarnya. Dia langsung turun dari ranjang dan membuka pintu. Mamanya ada di depannya dan berkata, “Ada Rofi di depan.” Sang mama juga tersenyum. Pipit mengangguk lalu masuk lagi ke kamarnya untuk memperbaiki penampilan.
Di ruang tamu, Rofi sedang duduk manis sambil menopang kaki. Wajahnya yang seimut voldemort tampak pas dengan setelan jas bak eksekutif muda. Pipit berjalan pelan menghampiri Rofi yang langsung berdiri begitu matanya mendapati gadis itu.
“Gimana kabarnya?” tanya Rofi berbasa-basi.
“Alhamdulillah baik,” jawab Pipit singkat sambil duduk di sofa. Rofi juga melakukan hal yang sama.
“Aku kesini mau ngomong sesuatu yang penting sama kamu,” ujar Rofi mantap.
Pipit menengadahkan wajahnya melihat Rofi. Raut wajahnya penuh tanya, “Apa?”
“Mungkin ini agak mengejutkan, tapi aku rasa aku mau serius sama kamu.”
Petir hampir datang ke dalam hati Pipit yang sedang galau. Dia tidak bisa bicara.
“Aku pengin melamar kamu, mau nggak kamu hidup sama aku?”
Lagi-lagi Pipit tidak menjawab. Dia memang ingin menikah, tapi dengan Rofi? Entahlah. Rofi memang cocok dengannya, tapi Pipit juga wanita yang masih punya otak dengan tidak menerima lamaran begitu saja sedang dia masih jadi kekasih orang, terlepas mereka sedang ada masalah. Tidak mungkin dia meninggalkan Heru begitu saja hanya karena alasan cinta yang tumbuh belakangan. Di tangannya tergenggam handphonenya sendiri.
“Sebentar,” ucap Pipit pamit lalu pergi ke dapur meninggalkan Rofi. Di dapur yang sepi itu, Pipit menelepon Heru, tapi tidak dijawab. Dia sudah mencoba berulang kali, hasilnya sama. akhirnya Pipit mengetik beberapa kalimat dan dia kirimkan via sms pada Heru.
“Kasih tau kapan kamu mau ngelamar aku, dengan begitu aku akan menunggu. Tapi jangan nyesel kalo kita nggak bisa ngelanjutin hubungan ini kalo kamu nggak ngejawab pertanyaanku ini.”
Sepuluh menit, dua puluh menit, tiga puluh menit, tiga puluh lima menit. Pesan yang dia kirimkan baru mendapat jawaban. Dengan terburu-buru, Pipit membuka inboxnya, dia membaca sekilas lalu tersenyum. Dia pun sudah tahu langkah apa yang akan dia ambil dengan membaca sms Heru.
Kamu harus tunggu aku, pasti aku akan melamarmu.”

***
Matahari sudah tenggelam beberapa jam yang lalu. Beberapa pekerja sudah kembali ke rumah mereka untuk berkumpul kembali dengan keluarga. Tidak dengan Heru, dia masih setia berhadapan dengan komputer kantor menyelesaikan semua laporan yang di tugaskan atasannya. Fokusnya dia bagi dua, antara pekerjaannya yang semakin sibuk dan Pipit yang sudah beberapa hari tidak meneleponnya. Mungkin gadis itu masih marah. Heru mengecap pahit dan mengambil handphonenya untuk menelepon Pipit.
Cukup lama sambungannya menggantung di udara sampai sebuah suara menjawab telepon tersebut.
“Halo?”
Heru terperanjat, suara laki-laki. Dia merinding jangan-jangan selama ini Pipit adalah laki-laki dan dia memacari … ah tidak. Heru tetap berpikiran positif dan melanjutkan pembicaraan.
“Pipitnya mana?” Heru bertanya tenang meskipun ada rasa khawatir pikirannya merupakan jawaban yang benar.
“Dia lagi pergi nyebar undangan ke temen-temennya. Handphonenya dia tinggal.”
Kerutan muncul di dahi Heru, “Undangan apa?”
“Pernikahan.”
Kembali Heru merasa tersetrum, apakah Pipit nekat menentukan pernikahan mereka sepihak? “Sama siapa?”
“Saya, calon suaminya.”
Wajah Heru sudah sangat kasihan mendengar hal itu. Bagaimana bisa Pipit tega menjatuhkan pilihan pada laki-laki lain sedang dia sedang susah payah bekerja untuknya? Tidak bisakah dia menunggu. Handphone di tangannya hampir saja meluncur ke lantai kalau saja Heru tidak menangkapnya dengan sigap. Akhirnya dari pada handphonenya terjatuh, dia menjatuhkan dirinya sendiri pada kursi depan meja kerjanya. Kasian, handphone mahal.
“God, how could this happen to me,” dengan nada terisak, Heru mencoba tegar. Dia mencoba lalu mencoba lagi, tapi tidak bisa. Ada rasa menyesal dan tidak terima di hatinya. Pipit sudah tidak bisa dia raih.
“How could this happen to me,” katanya sekali lagi. Lalu dia bersedih lagi, menunduk dan lupa laporannya belum dia selesaikan.
“Permisi.”
Heru menengadahkan wajahnya mendengar suara tersebut. Dia menengok ke arah pintu dan menemukan Pipit disana. Sontak dia berdiri dan berjalan mendekati Pipit yang berdiri tegap layaknya seorang anak polisi.
“Pipit,” panggil Heru pelan.
“Aku cuman mau kasih ini,” Pipit memberikan sebuah undangan pada Heru. Dia harus sabar menunggu Heru menerima undangan itu.
“Kenapa Pit? Kamu bahkan belum bilang putus.”
“Sekalian aku juga mau bilang putus. Aku rasa aku nggak akan sanggup untuk nungguin kamu yang nggak jelas.”
“Tapi aku juga serius sama kamu.”
“Kamu egois, kamu nggak mikir aku maunya gimana.”
“Kamu yang egois, nggak mau nungguin aku padahal aku kerja juga salah satunya buat kamu. Harusnya kamu ngerti.”
Pipit menahan nafasnya sebentar lalu dia hembuskan dengan pelan, “Maka dari itu lebih baik kita putus daripada kita cekcok kayak gini. Kamu fokus aja sama karir kamu dan aku…”
“…”
“Aku akan ngurusin hidupku sendiri.”
“…”
“Dan aku harap kamu dateng ke pernikahanku.”
Heru terdiam. Dia bahkan tidak bisa melakukan apa-apa ketika Pipit meletakan undangan di tangannya lalu pergi dari balik pintu. Dia kembali terduduk, melihat undangan ditangannya dan berpikir apakah dia akan datang atau tidak. Keputusan yang sulit.

***

Makanan sudah tersaji di meja makan. Tidak seperti biasanya, Heru tidak menyentuh makanannya sedikitpun. Bahkan dia tidak bernafsu melihat kecoa asam manis kesukaannya. Pikirannya jelas tertuju pada pernikahan Pipit. Seperti apa nanti kalau gadis itu berdandan, seperti apa pestanya, makanan apa saja yang akan terhidang, apakah capcay ganja rica-rica dan semut goreng gula-gula, lalu bagaimana rupa calon suaminya karena di undangan tersebut tidak ada foto pre wedding.
“Aku galau nih,” serunya tidak santai.
“Kalian mungkin emang lebih baik pisah.”
Heru celingukan dan mendapati Yasinta bergerak ke arahnya. Yasinta mengambil kursi dan disejajarkannya dengan Heru. Dia ikut bersedih mendapati Heru yang sedang runyam.
“Aku rasa, mending kamu lepasin dia aja daripada nungguin kamu yang nggak jelas.”
“Tapi aku masih cinta sama dia Yas.”
“Udahlah, kamu harus move on. Pipit itu cewek yang punya prinsip dan kamu juga harus hargai prinsipnya dia.”
“Tapi apa dia nggak bisa ngerhargain prinsip aku?”
Yasinta mengangkat bahu, “Sekarang pikirin baik-baik. Cewek udah niat mau nikah dan ada laki-laki yang berniat baik menikahinya, lalu apakan Pipit harus memikirkan laki-laki lain yang bahkan nggak pernah kasih keputusan yang jelas?”
“Tapi…”
“Menunggu untuk menikah nggak kayak menunggu naik bis, lebih sakit, lebih ngerepotin. Kan kamu juga punya prinsip nggak mau ngerepotin orang.”
“Iya juga sih, tapi kan…”
“Kamu pikirin aja dulu, yang jelas aku akan datang di pernikahan dia. Aku juga di undang. Terserah kamu mau datang apa nggak.”
“Tapi apa Pipit nggak bisa kayak kamu? Yang mau ngembangin karir dulu.”
“Semua orang punya pilihan masing-masing. Pilihan Pipit sama aku jelas beda.”
Yasinta pergi meninggalkan Heru yang masih galau. Dia tidak mau mendengar curhatan lagi karena pasti ujung-ujungnya Heru akan meledak. Heru sendiri termenung memikirkan perkataan Yasinta. Sekali lagi dia melihat undangan pernikahan itu.
“Rofi,” ucapnya lirih.

***
Berbagai ornamen menghiasi dinding-dinding rumah. Jajanan dan minuman ringan berjejer rapi dan menggoda dalam wadah yang dialasi daun pisang. Pelaminan nampak indah dengan hiasan bunga disekelilingnya. Pipit duduk disana. Riasan wajahnya masih melekat rapi juga elegan tapi tidak terkesan menor. Kebaya putih membalut tubuh kurusnya dengan pas. Dia melihat sekitar, kepada tamu undangan yang sedang menikmati kudapan ringan dan ada juga yang sedang mengobrol dengan orang tuanya. Dia alihkan matanya ke samping kanan, mendapati sosok pria ber jas hitam yang juga langsung membalas tatapan Pipit dan tersenyum ke arahnya. Keduanya saling lempar senyum.
Dialah Rofi, laki-laki yang beberapa jam lalu sudah mengikat sumpah untuknya. Pipit sudah memutuskan untuk hidup dengannya. Semoga dia memang benar tulang rusuknya. Pandanganya kembali pada tamu undangan. Dia sedikit terkejut mendapati seorang pria yang berdiri menjulang dengan sepatu pantofel. Laki-laki itu bergerak ke arahnya, seketika Pipit berdiri. Dia dan laki-laki itu pun berdiri berhadapan.
“Selamat,” kata laki-laki itu sambil mengulurkan tangan. Dengan pelan, Pipit menerima uluran tangan tersebut.
“Heru kamu…”
“Iya aku dateng,” potong Heru, laki-laki tersebut.
“Makasih,” ucap Pipit akhirnya sambil mengulum senyum.
Heru berpindah untuk berhadapan dengan Rofi.
“Selamat ya, Rofi,” ucap Heru mantap. Rofi hanya membalas ucapan selamat itu dengan senyuman. Tidak tahu juga harus membalas apa.
Setelah memandang Pipit dan Rofi bergantian, Heru segera berbalik dari pelaminan. Airmatanya dia seka agar tidak muncul. Dia berjalan menuju pintu keluar arena pernikahan dan mendapati Yasinta disana. Gadis itu mengangguk dan tersenyum, menunjukan bahwa Heru sudah melakukan hal yang benar. Dia pun mengajak Yasinta keluar bersama.
Sementara itu di pelaminan, Pipit mengusap tissue pada kelopak matanya. Orang-orang akan mengira bahwa Pipit sedang merapikan riasan bukan menahan air matanya. Ya, Pipit hampir menangis melihat Heru datang. Dia juga sedih melihat Heru yang dia putuskan sepihak. Tapi, Pipit yakin dia tidak akan menyesal. Dia dan Heru punya prinsip yang berbeda. Lebih baik untuk keduanya jika tidak bersama-sama. Mereka memang harus terpisah.

===========================End==========================

7 komentar:

  1. So sweeet... :)
    Aku suka sama ceritanya,, makasih banget...
    Ak harap endingnya bkal ky gini..
    cuma protes satu hal, kenapa mesti heruuuuuuuuu????? >_<

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mang lu mau pas nikah sama Rofi masih aja mikirin gua, haha...

      Btw, masa aku dibiarin gantung gitu ya??

      Hapus
    2. @Pipit: masa iya mau sama mas #@$%sensor
      @Heru: biar kau temukan jalanmu sendiri nak... yes!

      Hapus
    3. Coba di cerita itu lu bersatu sama Yasinta ya her.. :)

      Hapus
    4. Mungkin cerita lain episode, kalo reader masih setia menanti. hehehe

      Hapus
  2. Oh Em Ji!! Apa-apaan ini??

    Aku bahkan tidak bisa mengenali diriku sendiri #ciri khas dialog drama Korea.

    Berharap karirku akan seperti itu. Perihal dijodohkan nggak masalah deh.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kerja di perusahaan TV gitu? Carier must come first

      Hapus