Jumat, 12 September 2014

Kenapa nggak jadi guru?

Seringkali gue ditanya sama banyak orang kenapa gue nggak mau jadi guru padahal gue kuliah di jurusan pendidikan, fakultas keguruan lagi. Aneh kan? Nggak mau jadi guru padahal kuliah di bidang itu. Memang aneh kalo orang hanya melihat dari sisi yang jelas begitu. Mereka nggak tau alasan kenapa gue kuliah keguruan. Itu semua karena keinginan orang tua gue yang menganggap cewe badannya kecil, penyakitan dengan intelegensi seadanya pantesnya jadi guru. Kerjaannya nggak banyak nguras waktu, murid libur, bisa ikut liburan dan gaji lumayan apalagi kalo jadi PNS. Lagipula jadi wanita nggak wajib lah cari duit.
Yah itu memang pendapat yang nggak bisa gue salahkan begitu aja. Mereka punya banyak pertimbangan menginginkan gue jadi guru. Gue punya asthma, badan gue kecil, intelegensi gue nggak tinggi dan gue perempuan. Semua alasan itu udah cukup jelas bahwa pekerjaan yang cocok buat gue hanyalah jadi guru. Hanya saja gue adalah anak nggak tau diri dan pengin lebih. Bukan karena nggak bersyukur, tapi gue punya target lain yang sangat bertolak belakang dengan keinginan orang tua gue yang menginginkan gue jadi guru. Gue punya begitu banyak goals dan menurut gue, bisa gue lakukan dan gue capai. Semua goals gue tadi hampir hangus ketika gue ceritakan ke orang tua. Alih-alih mendukung, keinginan gue hanya dianggap hal yang terlalu nggak mungkin untuk dikejar. Gue sedih, jangankan didukung, didenger keinginannya aja nggak pernah.
Gue juga punya alasan kenapa gue nggak pengin jaadi guru selain guru itu bukan cita-cita gue. Sebenernya gue nggak masalah ngajarin orang, gue mau berbagi kalo emang gue layak untuk itu. Gue hanya nggak suka kalo ntar nantinya gue jadi guru, gue akan berubah jadi orang lain. Dan ketika gue jadi orang lain, otomatis gue akan selalu bohong sama diri gue sendiri, gue pun jadi nggak ikhlas ngajarin anak orang, gue malah makin jauh dengan criteria menjadi guru. Sok banget sih, kaya di film-film begitu “that’s not me” tapi seriusan, gue nggak betah menjadi orang lain.
Tapi kalo dipikir-pikir, sebenernya jadi guru itu asik. Iya asik kalo gue menjadi guru yang sangat gue. Nggak kehilangan karakter gue yang seringnya lawak dan cuek. Kalo guru boleh seperti itu, gue mau-mau aja. Tapi semua orang tau guru itu harus seperti apa. Guru harus jaga wibawa, harus terlihat terhormat dan harus disegani siswa. Makin strict seorang guru, makin kelihatan wibawanya dan makin tinggi derajatnya. Ya begitulah, hal-hal begituan nggak cocok dengan gue. Bagi gue wibawa itu ya bawaan, bukan paksaan, kalo saya mau dihormati ya saya harus terhormat (Ini gue jadi pake saya). Bukan berarti ketika murid-murid terlihat hormat mereka bener-bener hormat sama kita, bisa jadi hati mereka malah nggak peduli karena kehormatan atau wibawa yang kita punya hanya dibuat-buat. Ada sih yang bilang guru boleh asik-asik aja tapi harus tau batas. Gue nggak mau sih membuat batas kalo ntar malah jadinya kelewat batas.
Artikel ini emang sok tau. Beneran deh. Gue hanya sharing aja kenapa gue nggak mau jadi guru karena gue belasan taun sekolah hanya melihat guru yang begituuuu aja. Jadi image guru di mata gue ya begitu, hanya sekitar 1 persen dari puluhan guru yang ngajar gue yang bener-bener guru. Yang lainnya, malesin deh. Selama gue sekolah, hampir semua guru itu strict, sok tau dan nggak mau denger penjelasan. Pilih kasih juga, nggak mau terima ide siswa dan nggak sesuai jaman, membanding-bandingkan dan ngurusin dirinya sendiri. Sekali lagi, hanya sekitar satu persen guru yang beneran gue anggap guru.
Terkadang muncul pertanyaan dari diri gue sendiri untuk mencoba jadi guru dan mengubah guru-guru lain yang nggak peduli sama murid-muridnya. Iya ya, gue kan bisa jadi diri gue sendiri untuk jadi guru, toh gue pernah ngajar selama 4 bulan waktu KKN dan jadi diri gue sendiri. Tapi nggak bisa. Gue akan diasingkan kalo gue menjadi diri sendiri. Ya bayangin aja kalo ada guru cewe pake skateboard ke sekolah karena alasan efektifitas waktu, gue rasa nggak mungkin rekan-rekan guru lain akan bilang, “Wah Anda kreatif sekali,” pasti akan bilang begini, “Nggak enak dilihat anak-anak.” Sedangkan guru lain dandan menor dengan koleksi tas mahal atau ngerokok seenak jidat nggak ada tegurannya. Malesnya kan double.
Selain itu, guru yang ada dibayangan gue itu strict, selfish, dan ngikutin kegiatan ngajar yang nggak jelas. Mereka akan lebih patuh sama kurikulum neraka dibanding ketertarikan siswa akan pelajaran. Yang penting siswa lulus, yang penting nggak dimarahin pengawas, yang penting gaji utuh terus, itu adalah pikiran-pikiran guru yang gue lihat selama ini. Mereka lebih peduli sama nilai daripada persahabatan siswanya. Mereka nggak peduli dengan siswa yang kreatif dan mengacuhkan perasaan mereka. Rasa pilih kasih juga masih kuat. Siswa anak mentri, siswa unyu, siswa pinter tetap jadi prioritas. Siswa yang sering tawuran juga jadi prioritas karena mengancam nama baik sekolah. Dan siswa rata-rata, di cuekin aja. Toh mereka bukan siapa-siapa dan nggak mengancam nama baik sekolah jadi ngapain diurusin. Padahal tanggung jawab guru itu harus ke semua siswa bukan siswa-siswa pilihan mereka.

Ngomongin tentang dunia pendidikan emang nggak ada habisnya. Artikel ini hanyalah salah satu dari ketidak puasan gue selama sekolah. Selain itu, kurikulum sekarang juga nggak menarik banget dan cenderung nyakitin. Gue nggak mau deh, jadi guru yang patuh sama kurikulum begituan. Besides, I don’t like teaching someone who doesn’t wanna study. Gue nggak mau mencuri waktu orang yang lagi belajar ngegambar buat belajar bahasa inggris. Sepenting apapun bahasa inggris, mereka punya hak untuk nggak belajar bahasa itu.

Gue juga nggak tahan ngeliat beban siswa kok rasanya berat banget. Padahal mereka masih anak-anak. Mereka punya banyak subjek buat dipelajarin dan nilainya harus minimal tujuh semua. Sekolah dari pagi buta sampe mau maghrib. Mereka dipaksa dewasa eh malah berujung beradegan dewasa. Nggak ngerti lagi deh gue. Gue bener-bener nggak mau deh terlibat ke lingkungan yang begitu. Gue bukannya nggak peduli sama dunia pendidikan, justru gue peduli. Hanya cara gue peduli memang nggak seperti mereka-mereka yang sok peduli. Cara gue peduli berbeda dengan cara orang peduli. Pendidikan itu diselipkan disemua aspek kalo emang yang nyelipin peduli sama pendidikan. Dan guru seharusnya tanpa tanda jasa. On top of those reasons, gue belum siap jadi guru semulia itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar