Minggu, 30 November 2014

Tom and Cherry



Sudah sepuluh menit aku dan Tom duduk berhadapan di meja. Tom yang mengajakku duluan dan dia bilang ingin bicara. Tapi apa? Dia memang mentraktirku vanilla latte tapi dia tidak mengatakan apa-apa lagi. Dia hanya duduk termenung, matanya tidak memandangku, tidak juga melihat sekeliling café. Aku pikir dia sedang menunggu seseorang tapi kelihatannya bukan itu. Lalu apa?
“Sebenarnya kamu mau bicara apa Tom?” tanyaku pada akhirnya, dengan nada sedikit lebih tent saja.
Tom tersentak lalu matanya beralih ke arahku. Dia terpaku seolah-olah bertanya kenapa aku ada dihadapannya. Benar-benar orang ini…
“Kamu ini lupa atau apa?” tanyaku lagi, aku sudah tidak sabar.
“Aku…” akhirnya dia bersuara. “Sepertinya aku membuat kesalahan. Aku buutuh bantuanmu tapi aku benar-benar bingung mengatakannya,” wajahnya terlihat frustasi.
Aku langsung memajukan badanku ke meja. “Katakan pelan-pelan, oke?”

Tom menghela nafasnya sebentar sebelum dia menatapku. Kata-kata itu lalu meluncur dari bibirnya, “Dia sudah aku usir dari rumah, tapi entah kenapa aku… ingin dia kembali ke rumahku. Kau tau, aku tidak suka melihatnya dari dulu, tapi begitu dia pergi, aku… aku ingin melihatnya lagi. Aku sudah memintanya kembali tapi dia… dia bilang dia tidak ingin tinggal bersamaku lagi… dan…dia menghilang begitu saja, aku tidak tahu dia dimana… aku hanya takut terjadi sesuatu…”
“Cukup Tom,” selaku cepat. Tom bisa kehabisan nafas kalau dia menceritakan semuanya. Hal terpenting sekarang, aku sudah tahu permasalahannya dan dia membutuhkan bantuanku. Well, dia memang baru menghubungiku lagi semenjak sebulan lalu dia disibukan dengan… ya sudahlah. Padahal kami bersahabat sudah lebih dari sepuluh tahun. “Lalu kau ingin aku melakukan apa?” tanyaku pada akhirnya. Pertanyaan ini pasti yang sudah dia tunggu.
“Kau bisa membantuku menemukannya? Dengan segenap kemampuanmu itu. Kau bilang kau bisa membuat jarak sejauh apapun jadi nol bukan?”
“Emmm,” kataku yang aku yakin membuat jantung Tom bergemuruh panik. “Sebenarnya… istrimu itu… dia tinggal bersamaku, di apartemenku.”
“Apa?!!!”
***
Setelah mendapat omelan dan serentetan kata-kata kasar dari Tom, aku segera beranjak ke apartemenku. Well, dia juga mengatakan kalau dia lega luar biasa dan berterima kasih padaku berkali-kali. Aku hanya menghela nafas begitu wajah tegangnya berubah menjadi berbinar. Aku yakin tidak lama lagi dia akan meneleponku dan bertanya apakah sudah waktunya dia masuk ke apartemenku.
Disinilah aku sekarang, di apartemenku sendiri dengan perasaan luar biasa tegangnya. Aku sedang berdiri di kamar tamu yang sekarang menjadi tempat pelarian sementara Cherry, istri Tom sahabatku yang aristocrat itu. Aku mengetuk pintu perlahan tapi kupastikan Cherry mendengarnya. Sejurus kemudian pintu kamar itu terbuka, menampilkan sosok Cherry dengan mata sembab. Entah sudah keberapa kalinya dia menangis.
“Kau menangis lagi?” tanyaku blak-blakan.
Cherry mengangguk, wajahnya memerah karena ketahuan habis menangis. “Apa kau mendengar tangisanku? Apakah aku mengganggumu?”
Aku menggeleng. “Bukan seperti itu. Aku hanya khawatir. Bolehkah…,” aku melongok sebentar ke dalam kamar. “Boleh aku masuk? Mungkin kita bisa bicara.”
Sebenarnya aku sudah siap jika Cherry menggeleng dan tidak bersedia mempersilahkan aku masuk ke kamarnya tapi rupanya dia membuka pintu kamarnya lebar-lebar dan menepi, membiarkan aku masuk. Kami pun masuk kamarnya dan duduk berhadapan di sofa kamar itu.
“Tom mencarimu,” ucapku begitu kami duduk. Cherry tampak tidak kaget. Walau bagaimanapun, Tom sahabatku dan masuk akal jika dia menceritakan semua masalahnya padaku.
“Apa kau mengatakan sesuatu?”
“Tidak,” jawabku bohong. Bahkan aku sudah mengirim pesan agar Tom bisa ke apartemenku. “Kau tidak merindukannya?”
“Aku kangen sekali padanya tapi aku tidak bisa kembali ke sana.” Cherry mendesah. “Dia pikir aku sudah memanfaatkannya. Ya, pada awalnya aku memanfaatkannya karena dia bisa menopang hidupku. Aku tidak punya siapa-siapa lagi dan ketika dia memintaku menikah dengannya, aku pikir aku bisa melewatinya. Ternyata dia berpikiran lain padahal aku mencintainya.”
Cherry lalu menangis, air matanya keluar lagi. Aku berusaha menghiburnya dengan memeluk wanita itu. Kuakui selama ini, Tom selalu berpikiran buruk pada istrinya. Waktu itu, saat Tom bilang dia ingin menikah, jantungku serasa hampir lepas. Demi apa laki-laki seperti dia mau menikah? Lalu alasan yang Tom ucapkan saat itu lebih tidak masuk akal lagi. Malah bagiku, alasannya terdengar menjijikan dan tidak mencerminkan sosok Tom yang aku kenal. “Aku ingin memiliki wanita itu seutuhnya, Cherry telah membangkitkan semacam hasrat liar dan membuatku ingin menelannya hidup-hidup.” Begitulah kira-kira yang Tom katakan padaku. Dia bilang dia bisa menceraikan wanita itu kapan saja kalau dia sudah bosan. Aku setuju saja waktu itu karena kupikir Cherry bukan wanita baik-baik. Wanita macam apa yang mau dinikahi laki-laki yang tidak terlalu dikenalnya? Tapi sepertinya dugaanku salah, Cherry terlalu baik untuk manusia seperti Tom. Dan sekarang aku sedang membantu manusia itu.
“Aku lebih mencintaimu sayang.”
Itu suara Tom. Ya Tuhan sejak kapan dia masuk ke kamar ini? Aku langsung melepaskan pelukan Cherry dan berdiri begitu saja. Kulirik Cherry dan dia melakukan hal yang sama. Matanya melebar melihat suaminya datang tiba-tiba.
“Ke… kenapa kau bisa di sini?” suara Cherry bergetar. Tentu saja dia kaget. Bahkan aku yang sudah tahu dia akan datang tak kalah kagetnya. Aku tidak bisa membayangkan secepat apa dia datang ke apartemenku dengan kemampuan menyetirnya yang… pokoknya aku benar-benar tidak bisa membayangkannya.
“Pulanglah Cherry, pulang bersamaku. Aku janji aku tidak akan menyakitimu lagi,” sebuah permohonan dari Tom itu mebuatku membatu. Sepuluh tahun aku menjadi sahabatnya dan baru kali ini kulihat Tom begitu putus asa. Apa dia benar-benar bisa mencintai seseorang sekarang?
Yang dilakukan Cherry justru mundur tiga langkah. Dia memeluk dirinya sendiri, matanya tampak waspada seolah-olah Tom adalah serigala yang akan menerkamnya. Tom sendiri bergerak maju, tangannya terulur untuk meraih Cherry namun lagi-lagi Cherry mundur. Tom seperti disengat listrik begitu mengetahui dirinya dianggap berbahaya oleh istrinya sendiri. Aku tau perasaanmu, kawan.
“Ma…maafkan aku. Laki-laki brengsek sepertiku memang pantas dibenci. Tapi aku tidak ingin kau meninggalkanku seperti ini. Aku tidak akan memaksamu memaafkanmu secepat itu tapi kumohon, pulanglah bersamaku,” jeda sejenak sebelum Tom bicara lagi, “Kau mencintaiku bukan?”
Sejenak aku melihat tatapan Cherry yang penuh waspada itu melunak. Seolah baru menyadari yang dihadapannya benar-benar suaminya, bukan seseorang yang akan menyakitinya. Kulihat kakinya gemetaran dan lunglai. Dia hampir limbung dan aku sudah bergerak untuk menangkapnya tapi Tom lebih cepat. Tubuh mungil Cherry kini berada di pelukan suaminya. Aku pun mundur lagi.
Mereka bertatapan. Air mata kembali mengalir dari mata Cherry. Kenapa sih wanita itu tidak pernah kehabisan airmata? Tapi pertanyaanku menguap ketika aku melihat raut wajah Tom. Dia tampak begitu tersiksa tadi tapi begitu memeluk istrinya, dia terlihat lega sekali. Dia mengusap air mata yang mengalir di pipi Cherry kemudian mengecup keningnya. Cherry mulai terisak dan menenggelamkan kepalanya di dada Tom sementara laki-laki itu mengelus rambut panjang istrinya. Suasana romantis itu benar-benar terjadi di depan mata kepalaku.
“Aku akan menjagamu, sayang. Aku akan menjaga istriku.” Ucapan Tom bagaikan janji manis yang bisa meluluhkan hati perempuan, apalagi cara Tom mengucapkannya seolah-olah dia mengerahkan seluruh tenaganya untuk mengutarakan hal itu.
Cherry melepaskan diri dari pelukan itu dan memandang Tom lekat-lekat, dia ingin menemukan kejujuran di sana. Dan sepertinya Cherry tahu Tom memang mengatakan kejujuran. Mulutnya terbuka mengatakan sesuatu, “A… aku a…akan pulang Tom, bersamamu dan…,” belum sempat Cherry menyelesaikan kalimatnya, bibirnya sudah ditabrak begitu saja. Tom mencium istrinya di depanku. Lalu aku melihat Cherry sepertinya membalas ciuman itu. Hei, hei, apa mereka tidak sadar ada aku yang melihat mereka? Ini tetap rumahku terlepas kamar ini sedang menjadi kamar pelarian Cherry. Sekali lagi ini rumahku.
Aku berdehem dan ciuman panas mereka berhenti begitu saja. “Pulang saja sana,” bentakku tanpa bayang-bayang. Aku melihat ekspresi Tom dan Cherry yang kaget menyadari kehadiranku. Tom menatapku tajam seolah mempertanyakan kenapa aku tiba-tiba datang dan menggangu. Padahal dia yang tiba-tiba datang dan mengagetkanku. Lalu aku melihat Cherry yang wajahnya memerah. Dia pasti malu sekali ketahuan berciuman dihadapanku. Dia menunduk begitu matanya bertemu dengan mataku.
“Err. Kau bisa keluar dulu? Ini privasi.” Dengan kurang ajarnya Tom mengusirku dari rumahku sendiri. Well, tidak sekurang ajar itu sebenarnya karena bisa dibilang ini masih menjadi kamar Cherry. Tapi tetap saja, aku diusir dari rumahku sendiri.
Dengan langkah terburu-buru dan tidak perlu susah payah menyembunyikan kekesalanku, aku beranjak dari kamar itu. Pintu aku banting hingga tertutup. Aku sempat mendengar tawa cekikikan dari dua orang di dalam sana. Aku tak peduli. Lebih baik aku benar-benar meninggalkan mereka. Biarkan saja mereka, toh mereka sudah suami istri dan mereka bilang mereka saling mencintai jadi aku simpulkan tidak akan terjadi masalah. Aku segera mengambil tasku dan bergegas keluar apartemen.
Nah, sekarang aku sudah keluar. Mau kemana aku sekarang ini?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar