Sudah sepuluh menit aku
dan Tom duduk berhadapan di meja. Tom yang mengajakku duluan dan dia bilang
ingin bicara. Tapi apa? Dia memang mentraktirku vanilla latte tapi dia tidak
mengatakan apa-apa lagi. Dia hanya duduk termenung, matanya tidak memandangku,
tidak juga melihat sekeliling café. Aku pikir dia sedang menunggu seseorang
tapi kelihatannya bukan itu. Lalu apa?
“Sebenarnya kamu mau
bicara apa Tom?” tanyaku pada akhirnya, dengan nada sedikit lebih tent saja.
Tom tersentak lalu matanya
beralih ke arahku. Dia terpaku seolah-olah bertanya kenapa aku ada
dihadapannya. Benar-benar orang ini…
“Kamu ini lupa atau
apa?” tanyaku lagi, aku sudah tidak sabar.
“Aku…” akhirnya dia
bersuara. “Sepertinya aku membuat kesalahan. Aku buutuh bantuanmu tapi aku
benar-benar bingung mengatakannya,” wajahnya terlihat frustasi.
Aku langsung memajukan
badanku ke meja. “Katakan pelan-pelan, oke?”
Tom menghela nafasnya
sebentar sebelum dia menatapku. Kata-kata itu lalu meluncur dari bibirnya, “Dia
sudah aku usir dari rumah, tapi entah kenapa aku… ingin dia kembali ke rumahku.
Kau tau, aku tidak suka melihatnya dari dulu, tapi begitu dia pergi, aku… aku
ingin melihatnya lagi. Aku sudah memintanya kembali tapi dia… dia bilang dia
tidak ingin tinggal bersamaku lagi… dan…dia menghilang begitu saja, aku tidak
tahu dia dimana… aku hanya takut terjadi sesuatu…”
“Cukup Tom,” selaku
cepat. Tom bisa kehabisan nafas kalau dia menceritakan semuanya. Hal terpenting
sekarang, aku sudah tahu permasalahannya dan dia membutuhkan bantuanku. Well,
dia memang baru menghubungiku lagi semenjak sebulan lalu dia disibukan dengan…
ya sudahlah. Padahal kami bersahabat sudah lebih dari sepuluh tahun. “Lalu kau
ingin aku melakukan apa?” tanyaku pada akhirnya. Pertanyaan ini pasti yang
sudah dia tunggu.
“Kau bisa membantuku
menemukannya? Dengan segenap kemampuanmu itu. Kau bilang kau bisa membuat jarak
sejauh apapun jadi nol bukan?”
“Emmm,” kataku yang aku
yakin membuat jantung Tom bergemuruh panik. “Sebenarnya… istrimu itu… dia
tinggal bersamaku, di apartemenku.”
“Apa?!!!”
***
Setelah mendapat omelan
dan serentetan kata-kata kasar dari Tom, aku segera beranjak ke apartemenku.
Well, dia juga mengatakan kalau dia lega luar biasa dan berterima kasih padaku
berkali-kali. Aku hanya menghela nafas begitu wajah tegangnya berubah menjadi
berbinar. Aku yakin tidak lama lagi dia akan meneleponku dan bertanya apakah
sudah waktunya dia masuk ke apartemenku.
Disinilah aku sekarang,
di apartemenku sendiri dengan perasaan luar biasa tegangnya. Aku sedang berdiri
di kamar tamu yang sekarang menjadi tempat pelarian sementara Cherry, istri Tom
sahabatku yang aristocrat itu. Aku mengetuk pintu perlahan tapi kupastikan
Cherry mendengarnya. Sejurus kemudian pintu kamar itu terbuka, menampilkan
sosok Cherry dengan mata sembab. Entah sudah keberapa kalinya dia menangis.
“Kau menangis lagi?”
tanyaku blak-blakan.
Cherry mengangguk,
wajahnya memerah karena ketahuan habis menangis. “Apa kau mendengar tangisanku?
Apakah aku mengganggumu?”
Aku menggeleng. “Bukan
seperti itu. Aku hanya khawatir. Bolehkah…,” aku melongok sebentar ke dalam
kamar. “Boleh aku masuk? Mungkin kita bisa bicara.”
Sebenarnya aku sudah
siap jika Cherry menggeleng dan tidak bersedia mempersilahkan aku masuk ke
kamarnya tapi rupanya dia membuka pintu kamarnya lebar-lebar dan menepi,
membiarkan aku masuk. Kami pun masuk kamarnya dan duduk berhadapan di sofa
kamar itu.
“Tom mencarimu,” ucapku
begitu kami duduk. Cherry tampak tidak kaget. Walau bagaimanapun, Tom sahabatku
dan masuk akal jika dia menceritakan semua masalahnya padaku.
“Apa kau mengatakan
sesuatu?”
“Tidak,” jawabku
bohong. Bahkan aku sudah mengirim pesan agar Tom bisa ke apartemenku. “Kau
tidak merindukannya?”
“Aku kangen sekali
padanya tapi aku tidak bisa kembali ke sana.” Cherry mendesah. “Dia pikir aku
sudah memanfaatkannya. Ya, pada awalnya aku memanfaatkannya karena dia bisa
menopang hidupku. Aku tidak punya siapa-siapa lagi dan ketika dia memintaku
menikah dengannya, aku pikir aku bisa melewatinya. Ternyata dia berpikiran lain
padahal aku mencintainya.”
Cherry lalu menangis,
air matanya keluar lagi. Aku berusaha menghiburnya dengan memeluk wanita itu.
Kuakui selama ini, Tom selalu berpikiran buruk pada istrinya. Waktu itu, saat
Tom bilang dia ingin menikah, jantungku serasa hampir lepas. Demi apa laki-laki
seperti dia mau menikah? Lalu alasan yang Tom ucapkan saat itu lebih tidak
masuk akal lagi. Malah bagiku, alasannya terdengar menjijikan dan tidak
mencerminkan sosok Tom yang aku kenal. “Aku ingin memiliki wanita itu seutuhnya,
Cherry telah membangkitkan semacam hasrat liar dan membuatku ingin menelannya
hidup-hidup.” Begitulah kira-kira yang Tom katakan padaku. Dia bilang dia bisa
menceraikan wanita itu kapan saja kalau dia sudah bosan. Aku setuju saja waktu
itu karena kupikir Cherry bukan wanita baik-baik. Wanita macam apa yang mau
dinikahi laki-laki yang tidak terlalu dikenalnya? Tapi sepertinya dugaanku
salah, Cherry terlalu baik untuk manusia seperti Tom. Dan sekarang aku sedang
membantu manusia itu.
“Aku lebih mencintaimu sayang.”
Itu suara Tom. Ya Tuhan
sejak kapan dia masuk ke kamar ini? Aku langsung melepaskan pelukan Cherry dan
berdiri begitu saja. Kulirik Cherry dan dia melakukan hal yang sama. Matanya
melebar melihat suaminya datang tiba-tiba.
“Ke… kenapa kau bisa di
sini?” suara Cherry bergetar. Tentu saja dia kaget. Bahkan aku yang sudah tahu
dia akan datang tak kalah kagetnya. Aku tidak bisa membayangkan secepat apa dia
datang ke apartemenku dengan kemampuan menyetirnya yang… pokoknya aku
benar-benar tidak bisa membayangkannya.
“Pulanglah Cherry,
pulang bersamaku. Aku janji aku tidak akan menyakitimu lagi,” sebuah permohonan
dari Tom itu mebuatku membatu. Sepuluh tahun aku menjadi sahabatnya dan baru
kali ini kulihat Tom begitu putus asa. Apa dia benar-benar bisa mencintai
seseorang sekarang?
Yang dilakukan Cherry
justru mundur tiga langkah. Dia memeluk dirinya sendiri, matanya tampak waspada
seolah-olah Tom adalah serigala yang akan menerkamnya. Tom sendiri bergerak
maju, tangannya terulur untuk meraih Cherry namun lagi-lagi Cherry mundur. Tom
seperti disengat listrik begitu mengetahui dirinya dianggap berbahaya oleh
istrinya sendiri. Aku tau perasaanmu, kawan.
“Ma…maafkan aku.
Laki-laki brengsek sepertiku memang pantas dibenci. Tapi aku tidak ingin kau
meninggalkanku seperti ini. Aku tidak akan memaksamu memaafkanmu secepat itu
tapi kumohon, pulanglah bersamaku,” jeda sejenak sebelum Tom bicara lagi, “Kau
mencintaiku bukan?”
Sejenak aku melihat
tatapan Cherry yang penuh waspada itu melunak. Seolah baru menyadari yang
dihadapannya benar-benar suaminya, bukan seseorang yang akan menyakitinya.
Kulihat kakinya gemetaran dan lunglai. Dia hampir limbung dan aku sudah
bergerak untuk menangkapnya tapi Tom lebih cepat. Tubuh mungil Cherry kini
berada di pelukan suaminya. Aku pun mundur lagi.
Mereka bertatapan. Air
mata kembali mengalir dari mata Cherry. Kenapa sih wanita itu tidak pernah
kehabisan airmata? Tapi pertanyaanku menguap ketika aku melihat raut wajah Tom.
Dia tampak begitu tersiksa tadi tapi begitu memeluk istrinya, dia terlihat lega
sekali. Dia mengusap air mata yang mengalir di pipi Cherry kemudian mengecup
keningnya. Cherry mulai terisak dan menenggelamkan kepalanya di dada Tom
sementara laki-laki itu mengelus rambut panjang istrinya. Suasana romantis itu
benar-benar terjadi di depan mata kepalaku.
“Aku akan menjagamu, sayang.
Aku akan menjaga istriku.” Ucapan Tom bagaikan janji manis yang bisa meluluhkan
hati perempuan, apalagi cara Tom mengucapkannya seolah-olah dia mengerahkan
seluruh tenaganya untuk mengutarakan hal itu.
Cherry melepaskan diri
dari pelukan itu dan memandang Tom lekat-lekat, dia ingin menemukan kejujuran
di sana. Dan sepertinya Cherry tahu Tom memang mengatakan kejujuran. Mulutnya
terbuka mengatakan sesuatu, “A… aku a…akan pulang Tom, bersamamu dan…,” belum
sempat Cherry menyelesaikan kalimatnya, bibirnya sudah ditabrak begitu saja.
Tom mencium istrinya di depanku. Lalu aku melihat Cherry sepertinya membalas
ciuman itu. Hei, hei, apa mereka tidak sadar ada aku yang melihat mereka? Ini
tetap rumahku terlepas kamar ini sedang menjadi kamar pelarian Cherry. Sekali
lagi ini rumahku.
Aku berdehem dan ciuman
panas mereka berhenti begitu saja. “Pulang saja sana,” bentakku tanpa
bayang-bayang. Aku melihat ekspresi Tom dan Cherry yang kaget menyadari kehadiranku.
Tom menatapku tajam seolah mempertanyakan kenapa aku tiba-tiba datang dan
menggangu. Padahal dia yang tiba-tiba datang dan mengagetkanku. Lalu aku
melihat Cherry yang wajahnya memerah. Dia pasti malu sekali ketahuan berciuman
dihadapanku. Dia menunduk begitu matanya bertemu dengan mataku.
“Err. Kau bisa keluar
dulu? Ini privasi.” Dengan kurang ajarnya Tom mengusirku dari rumahku sendiri.
Well, tidak sekurang ajar itu sebenarnya karena bisa dibilang ini masih menjadi
kamar Cherry. Tapi tetap saja, aku diusir dari rumahku sendiri.
Dengan langkah
terburu-buru dan tidak perlu susah payah menyembunyikan kekesalanku, aku
beranjak dari kamar itu. Pintu aku banting hingga tertutup. Aku sempat
mendengar tawa cekikikan dari dua orang di dalam sana. Aku tak peduli. Lebih
baik aku benar-benar meninggalkan mereka. Biarkan saja mereka, toh mereka sudah
suami istri dan mereka bilang mereka saling mencintai jadi aku simpulkan tidak
akan terjadi masalah. Aku segera mengambil tasku dan bergegas keluar apartemen.
Nah, sekarang aku sudah
keluar. Mau kemana aku sekarang ini?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar